{34}: Satu Hari Yang Berkesan

1.1K 302 17
                                    

"Kalau seandainya suatu saat aku pergi ninggalin kamu, gimana?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kalau seandainya suatu saat aku pergi ninggalin kamu, gimana?


―❁―



AKU sengaja tidak ingin pulang terburu-buru karena aku ingin memenuhi keinginanku untuk satu hari ini saja bersama Khansa. Benar, aku akan menghabiskan waktuku seharian ini untuk berjalan-jalan keliling kota Jakarta sesuai ekspetasiku kemarin-kemarin. Kupikir, semuanya akan sulit kucapai―mengingat dia bukanlah milikku. Ya, Khansa memang masih berstatus dengan Keenan. Aku akui ini memang jahat. Tapi, aku benar-benar tidak ingin munafik. Aku juga ingin merasakan kebebasan bersamanya, berdua, walau hanya sehari saja. Itu tidak masalah. Yang terpenting, setidaknya dalam hidupku, aku benar-benar bisa merasakan kebebasan bersamanya.

ㅤ"Kamu masih laper?" Aku yang melihat Khansa sudah menghabiskan setengah porsi nasi goreng lantas bertanya, melirik gadis di sebelahku sebentar. Ia menggeleng, menolak halus. "Beneran? Mau nyoba yang aku nggak? Nih, nggak apa-apa. Makan aja. Lagian kamu kan tadi cuman pesen setengah porsi. Sedikit banget," kataku, berusaha untuk tetap terlihat santai. Pasalnya, baru hari ini aku memberanikan diri untuk memakai panggilan 'aku-kamu' dengan Khansa. Dan... yah, sedikit canggung. Tapi aku juga suka dengan panggilan seperti ini. Terkesan... lebih sopan dan lucu.

ㅤKulihat, Khansa menggaruk tengkuk kikuk. "Ngg... tapi kan itu makanan kamu, Jaka. Udah habisin aja. Kamu juga belum makan dari siang," perempuan itu menyahut dengan nada sedikit cemas. Lantas, aku tertawa, menatap ekspresinya yang polos tapi justru menggemaskan di mataku. "Habisin aja sama kamu. Nanti aku bisa makan lagi di rumah kalau laper."

ㅤAku menaruh piringku di atas tikar, lantas tersenyum miring ke arah Khansa. Beberapa detik aku sempat menatapnya, hingga akhirnya tanganku bergerak menggeser piring itu hingga ada tepat di hadapannya. Aku mengangguk, berujar, "Jaim itu emang perlu. Tapi kalau kamu memang masih laper, ya makan lah. Itu kamu habisin aja punya aku. Nggak usah sok-sokan gengsi gitu."

ㅤKhansa tampaknya pasrah. Ia tak bisa lagi menahan hasratnya untuk tidak memakan nasi goreng yang masih tersisa sedikit lagi di piringku. Dengan segenap hati, ia kembali melanjutkan memakan nasi goreng milikku, sambil sesekali melirik. Berbeda denganku yang sejak tadi terus memperhatikannya, tersenyum geli. "Kok kamu senyum-senyum gitu? Kamu nggak ikhlas apa gimana?" Khansa menurunkan piringnya, kemudian menatapku dengan wajah cemberut.

ㅤAku menggeleng, terkekeh. "Nggak. Ngapain aku kasihin ke kamu kalau nggak ikhlas, sih?"

ㅤ"Ya habisnya kamu dari tadi liatin aku terus," sungut gadis berambut sebahu itu. Aku kembali tertawa renyah lagi.

ㅤ"Nggak, nggak. Udah cepetan habisin," kataku, menarik napas sebentar. "Lagian tadi kamu ngapain sok-sokan pesen setengah porsi segala? Kenapa nggak sekalian satu porsi aja coba?"

ㅤ"Habisnya... habisnya temen-temenku suka protes kalau aku makan banyak. Katanya nggak kelihatan kayak perempuan banget. Terus juga mereka bilang kalau aku itu gampang gemuk kalau makannya banyak kayak gitu. Jadi, belakangan ini aku sering ngurangin porsi makan aku. Aku nggak mau diledekin gitu. Sedih tahu," Khansa menyeletuk panjang lebar, membuatku yang mendengarnya lantas terdiam sesaat.

DestinationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang