Sepucuk Surat dan Sekotak Cokelat
Nyaris tengah malam, mobil milik Raska memasuki gerbang kompleks. Setelah sebelumnya mereka berbasa-basi memberikan senyum pada Pak Satpam agar dibukakan portal—tentu saja yang memberi senyum paling lebar adalah Lingga. Karena Lingga anak kesayangan para satpam di sini.
Lingga sering membawakan makanan untuk mereka, katanya sih karena dia sering merepotkan Pak Satpam saat kesasar. Dalam satu minggu, banyaknya Lingga diantarkan pulang oleh Pak Satpam mungkin sebanyak tujuh kali atau lebih. Pokoknya sering, lah.
Sampai-sampai, kalau Pak Satpam melihat Lingga celingak-celinguk seperti orang hilang, mereka langsung menghampiri Lingga, dan mengantarkan cowok itu pulang. Tanpa perlu Lingga meminta.
Pernah Ndof mau membuatkan papan tulisan bertuliskan: nama, alamat, serta nomor teleponnya dan Raska, untuk dikalungkan di leher Lingga. Jadi kalau Lingga kesasar, dan baterai ponselnya habis, dia masih bisa pulang.
Yang tentu saja ditolak oleh Lingga, diikuti dengan rentetan umpatan kepada Ndof.
Padahal 'kan, Ndof cuma mau membantu Lingga.
"Gue pulang dulu, udah ngantuk," pamit Ndof singkat lalu melangkahkan kaki ke rumahnya. Baru beberapa langkah, Ndof berhenti, bulu kuduknya merinding.
Rumahnya dalam keadaan gelap gulita, hanya ada cahaya lampu dari lampu kecil di beranda depan. Seumur-umur, Ndof tidak pernah melihat rumahnya segelap ini. Mungkin karena Ndof sedang pergi, mamanya memanfaatkan kesempatan untuk menghemat listrik.
Ndof jadi teringat omelan mamanya beberapa hari yang lalu.
"Gara-gara kamu penakut, Mama jadi bayar listriknya mahal Ndof!" teriak mamanya sambil mengacung-acungkan lembar bukti pembayaran listrik bulanan.
"Bukan salah Ndof!" jawab Ndof tidak terima. "Salahin Lingga sama Raska yang ninggal Ndof di depan rumah kosong pas Ndof kecil. Ndof jadi penakut karena mereka, Ma."
"Udah. Kamu jangan banyak alasan. Pokoknya uang jajan kamu, Mama potong, buat bayar listrik!" Mama dengan nada final tak bisa dibantah.
Di mata Ndof sekarang, rumahnya sama seperti rumah kosong sebelah kompleks. Ndof bergidik ngeri. Gara-gara hutan pinus tadi, pikirannya tidak berhenti membayangkan yang tidak-tidak.
Dengan tergesa, Ndof berlari kembali ke rumah Raska. Jangan sampai temannya itu sudah masuk ke dalam rumah, dan meninggalkannya sendirian di jalan.
Bagaimana kalau ada sesuatu yang muncul? Atau tiba-tiba ada suara tertawa? Atau ... Ndof menggelengkan kepalanya, tidak mau membayangkan lagi.
"Raska!" teriak Ndof kencang, sudah seperti Ibu-ibu memanggil Mamang tukang sayur yang lewat. "Gue nginep di rumah lo!"
Bahkan Lingga, yang sedang menyeberang sambil menguap, tersentak kaget.
"Udah malem Ndof, jangan berisik!" teriak Lingga.
"Ye ... Lo juga teriak, Ling!" Ndof balas berteriak. "Lagian lo mau ke mana? Rumah lo itu tinggal lurus. Ngapain lo belok kanan?"
Lingga mengerjap beberapa kali. Memang benar apa kata Ndof, harusnya dia tinggal menyeberang lurus. Tapi saat ini Lingga malah berjalan ke arah kanan.
Raska menggelengkan kepalanya lelah. "Bukan temen gue."
Ndof menertawakan Lingga yang sekarang berjalan kembali ke arah mereka. Sedangkan Raska berkutat dengan kunci pintu.
"Pada nggak bilang sih kalau gue salah jalan." Lingga ngambek. Tidak jadi pulang ke rumahnya dan memilih ikut menginap di rumah Raska juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
SENANDIKA [completed]
Teen FictionRaska, Lingga dan Ndof mempunyai sifat dan cara berpikir yang berkebalikan. Saling menghujat, mengejek, dan bertengkar mungkin makanan sehari-hari untuk mereka. Ancaman untuk berhenti berteman seringkali mereka ucapkan. Meskipun begitu, tidak ada s...