Pagi itu, semua orang sibuk mempersiapkan ini dan itu. Di tengah orang yang berkasak-kusuk, seorang lelaki menguap di dalam kamar. Menarik selimut tebalnya kembali. Masih lelah akibat perjalanan panjang dari Australia. Belum lagi acara koper tertukar yang sempat dialaminya di bandara. Rasanya dia seperti mengulang momen-momen saat tersesat di jalan dulu.
Lelaki itu hampir melanjutkan mimpi indahnya jika saja seorang gadis tidak berderap masuk ke kamarnya dengan marah. “Mas Lingga! Mas tahu jam berapa ini?!”
Lingga terkesiap, tubuhnya terguling seketika saat Lala menarik selimutnya sekuat tenaga. “Mas itu udah ditungguin dari tadi, Mama repot tuh di bawah, udah mau berangkat!”
“Bentar lagi ya, La. Mas masih capek ini.” Lingga menggaruk rambutnya asal, matanya setengah terpejam.
“Bentar, bentar! Nggak ada kata bentar! Cepet siap-siap nggak? Buruan mandi!” Lala bersungut, menarik lengan kakaknya dan menyeret lelaki itu ke kamar mandi.
“Kalau aku selesai siap-siap, Mas juga harus selesai. Ini itu hari penting buat Mas Lingga.” Sebelum keluar dari kamar Lingga, Lala melotot marah. “Sepuluh menit harus siap!”
Lingga mendecak geli, menatap pintu yang baru saja dibanting oleh adiknya itu. Baik dulu maupun sekarang, adiknya tidak pernah berubah.
“Buruan, Mas, jangan ngelamun terus!” teriakan Lala dari luar kamar menggelegar seakan tahu apa yang sedang Lingga lakukan.
“Iya! Bawel banget sih!” Lingga tersenyum, sekilas menatap kumpulan foto yang dia abadikan beberapa tahun silam. Matanya fokus pada figur seorang gadis. Orang yang akan ditemuinya di hari pentingnya ini.
Setelah mandi kilat, kini Lingga mematut diri di depan cermin. Tuxedo warna hitam tampak melekat di tubuhnya yang kekar. Padahal seingatnya badannya tak seatletis ini dulu. Rasanya baru kemarin dia melepas seragam sekolahnya dan sekarang dia sudah mengenakan baju ini di acara yang paling dinantinya.
“Mas Lingga! Buruan, udah siang ini, nanti penghulunya keburu datang!” suara cempreng Lala bersahutan dengan ketukan pintu yang brutal.
Telinga Lingga berdenging singkat. “Iya iya,” jawabnya seraya buru-buru membuka pintu dan menampilkan gadis cantik dengan balutan gaun putih berkerah A line.
“Mas tahu ‘kan, acara nikahannya nggak bisa dilaksanain kalau Mas nggak ada!” Lala mengomel tidak henti, meraih tangan Lingga dan menyeretnya keluar. “Ini itu hari terpenting buat Mas Lingga! Ayo, buruan semua udah nunggu!”
Lingga tersenyum. Ah, hari ini ya? Dengan gerakan cepat, Lingga berganti menarik Lala “Buruan, La!”
“Ini juga udah cepet! Emang siapa tadi yang pakai bangun kesiangan!” Lala makin bersungut, matanya melirik jam tangannya sekilas. “Tuh ‘kan, udah jam setengah delapan lebih!”
“Hah, setengah delapan? Setengah jam lagi, La!” Lingga berteriak panik. Bayang-bayang jalanan ibu kota yang begitu macet menghantuinya. Jika seperti ini bisa dipastikan dia akan terlambat datang, membuat wanita itu menunggu.
***
“Udah sampai mana?”
“Duh, bentar.” Raska melongok mencari taksi pesanannya. “Aku udah di parkiran bandara. Tadi pesawat delay satu jam. Aku bakalan ngamuk kalau beneran delay seharian.”
“Kamu juga belum ambil jas di penjahit.”
Raska berhenti, menepuk dahinya. “Kamu kok nggak ambilin sekalian?”
KAMU SEDANG MEMBACA
SENANDIKA [completed]
Teen FictionRaska, Lingga dan Ndof mempunyai sifat dan cara berpikir yang berkebalikan. Saling menghujat, mengejek, dan bertengkar mungkin makanan sehari-hari untuk mereka. Ancaman untuk berhenti berteman seringkali mereka ucapkan. Meskipun begitu, tidak ada s...