Epilog

1.8K 115 18
                                    

Epilog


Kutatap pantulan diriku di cermin besar. Gaun putih dengan ekor putri duyung mengunci pandanganku. Aku tersenyum, gaun yang aku pilih bersamanya akhirnya kukenakan pagi ini. Rasa gugup perlahan kembali menyelimutiku. Tanganku terasa kebas. Riasan di wajah bisa saja luntur karena keringatku.

Aku mendongak menatap jam dinding di salah satu sudut kamar ganti. Lima menit lagi, janji suci itu akan diucapkan. Lima menit lagi, aku akan sah menjadi miliknya. Aku begitu menantikan hari ini. Hari yang kami persiapkan bersama. Gugup, senang, semua bercampur menjadi satu. Aku mencoba tetap tenang meski jantungku terus berdebar kencang.

“Sayang, kamu sudah siap?” Mama bertanya seraya membuka pintu.
Aku menghela napas panjang, memasang wajah penuh senyum.

“Sudah, Ma.”

Mama menghampiriku, memelukku singkat sambil menepuk punggungku pelan. “Nggak kerasa ya, kamu sudah sebesar ini.” Ada nada bahagia bercampur kesedihan di sana.

“Sebesar apa pun itu, aku akan tetap jadi anak Mama.” Aku melepas pelukan Mama. Kutatap matanya yang berkaca-kaca. “Ya udah, Ma. Acaranya mau dimulai ‘kan?”
Beberapa langkah yang terasa panjang, hingga kami tiba di depan pintu ballroom.

“Yuk?” Mama memandangku dengan sedikit menelengkan kepala. Mengerti perubahan raut wajahku, Mama menggenggam tanganku erat. Memberikan penguatan.

Kedua sisi pintu di depanku terbuka dari dalam, dua orang staf WO menariknya. Hingga perlahan, aku bisa melihat isi ballroom yang bercahaya lembut. Dulu, aku tidak pernah memimpikan hari seperti ini akan tiba dalam hidupku. Bunga-bunga memenuhi sudut ballroom.

Beberapa dirangkai lantas dipasang menjuntai di atap-atap. Kursi-kursi berpita dengan meja bundar, yang berisi keluarga terdekat kami, sudah dipenuhi oleh wajah-wajah yang tersenyum—seolah menyambutku.

Terasa remasan lembut di lenganku, Mama mengisyaratkan agar aku segera melangkah. Aku bahkan tidak sadar jika sudah mematung beberapa saat di ambang pintu ballroom. Aku masih terus meyakinkan diri sendiri, kalau semua ini bukan mimpi. Ini nyata. Senyata aku yang bisa mencium harum rangkaian bunga kantil yang terpasang di rambutku.

Melangkah menuju satu meja panjang di tengah ballroom, jantungku menggila. Aku menatap punggung tegap itu dengan penuh haru. Setelah hari ini, dialah yang akan menjagaku. Dia, yang akan kuberikan seluruh hidupku hingga kami menua bersama. Hingga nyawa lepas dari raga.

Tapi sebelum punggung itu menoleh, aku mencari tiga lelaki hebat dalam hidupku. Sedikit kecewa, karena aku hanya melihat Ndof saja. Lalu suara berisik terdengar dari belakangku.

“Permisi, maaf, aduh, maaf.” Aku ingin sekali menoleh ketika mengenali suara itu, tapi tidak bisa. Tangan Mama setia menggamitku, aku jadi tidak bisa leluasa menoleh.

Tapi dari sudut mataku, aku menangkap Lingga dan Raska membungkuk sopan sambil terus bilang ‘permisi’ ketika melewati bangku-bangku yang berisi tamu yang lebih tua. Di belakang mereka, ada Tante Jani dan Lala yang memilih duduk di bangku dekat pintu. Sementara Lingga, Raska dan Kirania melanjutkan langkah menuju bangku Ndof.

Aku tahu, mereka bertiga sangat sibuk. Lingga baru pulang dari Australia kemarin sore. Dan aku tidak tahu jam berapa tadi pesawat Raska mendarat. Lelaki itu bahkan tidak sempat mengambil jas, dan sebagai gantinya mengenakan batik hitam-biru laut. Kalau Ndof, dia mulai bekerja di salah satu rumah sakit ibu kota. Menjadi idola baru di sana, katanya.

Kalau ditanya, apakah aku pernah jatuh cinta dengan salah satu dari mereka? Aku tidak munafik, aku akan menjawab iya. Tidak ada perasaan murni persahabatan antara lelaki dan perempuan, itu benar. Aku memutuskan untuk mencintainya diam-diam. Alasannya benar-benar klise. Aku tidak ingin merusak persahabatan kami.

Aku tahu, semua hanya masalah waktu. Kalau kami ditakdirkan berjodoh, maka penantianku tidak pernah sia-sia. Jika takdir berkata lain, maka aku hanya bisa bersyukur bahwa aku pernah mencintainya. Kutatap mereka satu per satu, pada salah satu dari mereka, kutitipkan terima kasih karena sempat mengisi hatiku. Tanpa perlu jawaban, apakah perasaanku berbalas, atau tidak.

Tahun-tahun berlalu, sampai aku tiba pada seseorang, yang menjadi tempat di mana seharusnya hatiku tertambat. Seseorang yang enam tahun lalu datang ke hidupku. Punggung itu akhirnya menoleh tepat ketika aku melepas tatapan dari ketiga sahabatku. Ketika tatapan kami bertemu, hatiku membuncah bahagia.

***

Sedetik setelah dia mengucapkan janji suci itu, air mata yang sejak tadi kutahan-tahun akhirnya luruh bersamaan dengan teriakan sah yang memenuhi ballroom. Perasaan gelisah yang sejak tadi kurasakan berganti dengan kelegaan luar biasa. Rasa itu kemudian berganti dengan bahagia. Bahagia karena aku dan dia sekarang sudah resmi menjadi kita. Bahagia karena dia sekarang milikku dan aku adalah miliknya. Seutuhnya.

Hatiku bergetar saat meraih punggung tangannya untuk kucium. Dia balas mencium dahiku cukup lama. Seketika aku merasa menjadi wanita paling beruntung di dunia ini. Aku tidak pernah mengira akan jatuh cinta kepadanya. Sama sekali tidak.

Dulu bagiku, dia hanya orang baik yang menyelamatkan hidupku. Tapi lambat laun, setelah menghabiskan banyak waktu bersamanya, aku tidak bisa menemukan alasan untuk tidak jatuh cinta kepadanya. Bersamanya, aku merasa lengkap.

Para tamu mulai mengantre untuk memberi ucapan selamat pada kami. Kakiku pegal dan kepalaku terasa berat dengan semua riasan ini. Tapi tidak sedikit pun mengurangi rasa bahagia yang kupunya.

Di penghujung antrean, akhirnya ketiga orang yang kutunggu-tunggu datang mendekat. Aku nyaris memeluk mereka, kalau saja aku tidak ingat bahwa sekarang aku adalah seorang istri. Dan ada perasaan suami yang harus aku jaga. Meskipun aku tahu, dia tidak pernah merasa cemburu dengan kedekatanku dan tiga sahabatku.

“Mas, ingetin Arinka buat nggak sering-sering makan pedas ya. Dia suka nggak sadar kalau punya maag,” kata Lingga.

Raska tersenyum ke arahku. “Rin, lo sekarang udah jadi istri orang. Hobi nonton drama koreanya tolong dikurangi ya.”

“Mas tahu ‘kan kalau sampai Mas nyakitin Arinka, sengaja atau nggak, Mas bakal berhadapan sama kami? Gini-gini kami jago berkelahi dan pernah ikut tawuran, Mas.” Ndof mengancam tanpa rasa sungkan. Profesi dan tempat kerja mereka yang sama membuat Ndof lebih dekat dan mengenal dia dibandingkan dengan Lingga dan Raska.

Setelah mengucapkan semua pesan dan ancaman, mereka lantas turun dari pelaminan. Meninggalkan aku yang terharu dengan kasih sayang yang mereka tunjukan. Janji bahwa kami tidak akan kehilangan satu sama lain sudah mereka buktikan sampai sekarang.

“Aku nggak bisa ngalahin sayangnya mereka ke kamu.” Dia berbisik di telingaku.

“Usaha dong. Jangan mau kalah, Mas,” ejekku pelan.

“Aku punya seumur hidup buat berusaha ngalahin sayangnya mereka ke kamu. Aku pasti menang.” Dia mencium hidungku pelan membuatku tersenyum dengan wajah merah merona.

Aku tahu, menikah tidak lantas membuat hidup kami berakhir menjadi bahagia selama-lamanya seperti yang dongeng-dongeng ceritakan. Malah akan lebih banyak badai yang menerpa. Tapi aku yakin, susah dan senang, dia akan selalu ada bersamaku.

Dia Dhimas Pradna Januari. Suamiku.
 


 
 
 
 
 
 

TAMAT.
Dimulai: 10 April 2018—Selesai: 14 Agustus 2018

SENANDIKA [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang