Kalingga Mahardika
Namanya Kalingga Mahardika. Lahir di angkot dengan presentasi bokong—lahir dengan bokong keluar terlebih dahulu. Tidak elite? Memang. Salahkan ibunya yang sudah hamil tua tapi memaksakan diri pergi ke pasar hanya untuk membeli petai. Kan bisa nanti-nanti saja jika sudah lahiran. Untungnya, bayi Lingga baik-baik saja di angkot tersebut dan bisa tumbuh hingga sekarang.
Lingga tumbuh menjadi sosok pemuda dengan gigi kecil rapi yang terlihat bagus jika tertawa. Berkumis tipis—yang sering dipuja wanita—dan memiliki rahang yang tegas. Tubuhnya tegap, kulitnya tidak putih tidak juga hitam, hanya sedikit kecokelatan bukti terpapar sinar matahari. Kalau dibilang kuning langsat, ya mungkin bisa jadi.
Lingga merupakan anak pertama dari pasangan Risyad Mahardika dan Anjani Setyarini. Memiliki adik perempuan bernama Lala yang terpaut usia dua tahun dengannya. Meski terlihat cuek, Lingga sebenarnya sangat menyayangi adiknya. Rasa sayang itu kadang terwujud sebagai olok-olokan yang dia lontarkan pada Lala. Atau saling melempar makanan di meja makan hingga membuat mereka harus mendapat teguran dari Anjani. Jangan buang-buang makanan, kata ibunya itu suatu ketika.
Berbicara tentang makanan, laki-laki satu ini sangat menyukai makanan pedas. Selain bisa melepas stres setelah memakannya, baginya makan makanan pedas sudah menjadi ritual wajib yang harus dimakan setiap hari. Hal itulah yang membuat Lingga sangat suka menambahkan bubuk cabai atau sambal pada makanannya. Lingga pun sempat bereksperimen dengan menambahkan bubuk cabai pada es krim yang dibelinya. Rasanya? Lumayan enak bagi Lingga dan kalian bisa mencobanya di rumah.
Lain halnya dengan makanan pedas, Lingga juga sangat menyukai fotografi. Lelaki itu senang mengabadikan setiap momen yang dimilikinya. Baginya, foto mempunyai cara tersendiri untuk bercerita.
Semua berawal dari ayahnya yang memotret momen perkelahiannya dengan Raska dan Andofa--temannya sejak dia masih menyusu--saat usia lima tahun. Potret yang menggambarkan mereka saling jambak hanya untuk berebut kulit jeruk Bali. Hal sepele, tapi Lingga sangat menyukai foto itu. Foto berbingkai rapi yang dia letakan di kamar. Salah satu foto berharganya, karena tanpa hasil potret ayahnya itu bisa saja dia melupakan kenangan tersebut sekarang.
Ayah ya ... kata yang terlintas itu sering sekali membuat Lingga rindu. Lingga rindu Ayah, sosok gagah yang harus meninggal di usia muda. Lingga tidak begitu ingat dengan ayahnya, yang dia tahu ayahnya adalah seorang polisi dan meninggal saat usia Lingga 6 tahun. Lingga tidak banyak mengenang bagaimana ayahnya semasa hidup. Dia hanya mengenang perawakan tubuh tegap ayahnya serta wajah bijaksana itu dari potret yang selalu dia simpan. Hingga Lingga bisa memastikan tidak akan pernah melupakan wajah ayahnya.
Sepeninggal ayahnya, Anjani dan Lala memiliki harapan yang tinggi pada Lingga. Anjani yang sibuk dan sering lembur di kantor memberikan tanggung jawab yang lebih padanya. Perasaan tidak ingin mengecewakan keluarga sering sekali membuat Lingga merasa tertekan. Itulah sebabnya Lingga menyukai traveling. Hal yang bisa membuat penat dan sesak yang menghimpit dadanya berkurang. Dia bahkan memiliki cita-cita untuk menjelajahi dunia. Namun sayang, jangankan menjelajahi dunia, Lingga pergi keluar kompleks rumahnya saja kadang masih kesasar.
Pernah suatu waktu, saat Lingga berumur 7 tahun. Anjani menyuruh Lingga untuk membeli telur di warung depan. Saat orang lain hanya menghabiskan waktu 10 menit untuk membelinya, Lingga membutuhkan waktu 30 menit. Anak itu sibuk berjalan mengitari kompleks, mencari jalan pulang yang entah kenapa gagal dia ingat. Jangan tanya kenapa, karena sesungguhnya lelaki itu buta arah.
Anjani selalu mewanti-wanti Lingga jika anak sulungnya itu hendak pergi. Beruntung semesta masih sayang padanya dengan memberikan Raska dan Andofa yang selalu menemaninya sebagai petunjuk jalan pribadi jika sedang dibutuhkan. Ya, meski Lingga tahu dua orang itu sebenarnya tidak ingin terlibat jauh dengan cita-cita menjelajah dunianya. Capek.
Terlepas dari kenyataan bahwa Lingga buta arah, Lingga sebenarnya merupakan sosok yang pintar. Berbeda dengan jalan yang susah dihafalnya, Lingga mudah menyerap pelajaran yang diberikan. Sebagai sosok laki-laki, Lingga diberkati dengan tulisan tangan yang rapi, lebih bagus daripada perempuan. Hal itulah yang kadang membuat sebagian orang iri. Jika ada guru yang menyuruh siswa membantunya untuk menulis di papan tulis, maka Lingga adalah orang yang paling direkomendasikan oleh satu kelas. Lalu, apa gunanya memiliki sekretaris?
Berkat tulisan tangannya, Lingga juga sering sekali dimintai bantuan oleh Raska dan Andofa yang akan ditolaknya mentah-mentah meski dengan banyak perdebatan. Walau begitu, Lingga sudah menganggap keduanya sebagai saudaranya sendiri. Sama halnya dengan Lala, Raska dan Andofa sudah seperti adiknya meski mereka satu angkatan. Mereka bertiga tumbuh di lingkungan yang sama. Bermain dan menghabiskan waktu bersama hampir sepanjang waktu. Saling berbagi aib. Mereka berbeda karakter, tapi entah kenapa Lingga baik-baik saja bersama dengan mereka. Walau tingkat kewarasannya mungkin sudah dipertanyakan saat ini.
Bagi Lingga, Raska merupakan sosok yang kesepian. Orang tua Raska yang sibuk membuat Lingga sering menginap di rumah temannya itu. Di balik alasan-alasan yang dibuat Lingga kenapa dia menginap, sebenarnya pemuda itu hanya ingin menemani temannya dalam kesendirian. Karena lebih dari siapapun Lingga paling tahu apa rasa rindu dan kesepian itu.
Raska juga orang yang gampang kesal. Dia adalah orang pertama yang akan meneriaki dan memaki Lingga saat gagal menghalau bola yang masuk ke gawang. Jika sudah begitu, Lingga hanya bisa pasrah. Toh, Raska adalah kaptennya. Orang bilang Lingga itu manis karena kumis tipisnya, tapi bagi Lingga, di antara mereka bertiga, Raska lah yang paling manis. Coba saja lihat jika orang itu sudah tersenyum, Mamang tukang sayur saja meleleh dibuatnya.
Sedangkan untuk Andofa ... Lingga tersenyum sendiri jika mengingat salah satu sahabatnya itu, sosok paling rusuh di antara mereka. Kelakuannya pun ada-ada saja. Ide gila selalu terlintas di otaknya, tanyakan saja pada Raska ide apa yang terlontar dari otak perusuh itu. Maka Raska akan dengan senang hati membagi salah satunya.
Hal yang bisa diandalkan dari anak ini adalah masakannya. Andofa merupakan chef hebat di antara mereka--penyelamat asam lambung yang meningkat di perut Lingga dan Raska. Jangan bertanya soal wanita padanya, karena satu tahun mungkin tidak cukup bagi Andofa untuk menjelaskannya. Di antara mereka, Andofa adalah orang yang paling akrab dengan gadis-gadis, katanya mereka nyaman dengannya.
Soal wanita, Lingga tidak tahu banyak tentang mereka meski dia punya adik perempuan. Mau bertanya pada Raska sama saja, jika bertanya pada Andofa buang-buang waktu. Lingga tidak terlalu paham dengan wanita, tapi dia mempunyai caranya sendiri untuk memahaminya.
Salah satunya saat Lingga mencoba memahami gadis itu. Mereka kenal sejak SMP, dia adalah sosok perempuan yang tidak mudah ditebak. Peruntuh mood dengan segala tingkahnya yang jauh dari kata wajar. Dia adalah Arinka, satu-satunya orang yang bisa menemani Lingga makan makanan pedas, karena Raska dan Andofa akan seperti cacing kepanasan hanya dengan satu cabai saja. Cemen!
Lingga sering mengajak Arinka berburu makanan, meski ujung-ujungnya gadis itu harus menjadi peta berjalannya juga. Di tengah-tengah menyantap makanan, Arinka akan banyak berceloteh. Membicarakan ini dan itu yang sebenarnya Lingga sendiri tidak terlalu paham. Setidaknya, Lingga tertolong karena sering mendengarkan Lala membicarakan hal yang hampir serupa.
Di mata Lingga, Arinka adalah gadis yang ceria. Dia bisa berteman dengan siapa saja. Namun di balik itu semua, sebenarnya Lingga tahu bahwa gadis itu sedang menyimpan beban dan enggan membaginya dengan teman-temannya.
Arinka adalah penyejuk udara di antara penatnya kelakuan Raska dan Andofa. Meski jika Lingga ingat-ingat lagi, tingkah mereka sebenarnya tidak jauh berbeda. Mudah membuat kepalanya berdenyut dan sering kena sial karena terlibat hal-hal yang sebenarnya tidak dia lakukan. Walau begitu, Lingga masih tetap menyukai mereka. Bersama dengan tiga makhluk itu membuat hari-hari Lingga menjadi menyenangkan. Lingga tidak ingin berpisah dengan mereka.
***
Apakah kamu #teamLingga?
KAMU SEDANG MEMBACA
SENANDIKA [completed]
Roman pour AdolescentsRaska, Lingga dan Ndof mempunyai sifat dan cara berpikir yang berkebalikan. Saling menghujat, mengejek, dan bertengkar mungkin makanan sehari-hari untuk mereka. Ancaman untuk berhenti berteman seringkali mereka ucapkan. Meskipun begitu, tidak ada s...