Berharga
Saya berharga.
Dengan terus menggumam kalimat itu, Arinka menatap langit-langit ruang rawat inapnya. Di sofa tidak jauh dari tempat tidur, mamanya terlelap, lelah menjaganya sepanjang hari.
Arinka mengembuskan napas. Cahaya temaram lampu membuatnya merasa gundah. Gadis itu tidak tahu, sebenarnya apa yang bergejolak dalam batinnya. Sebenarnya apa yang dia inginkan? Ah, lepas dari masa lalu. Setidaknya, itulah yang terbesit di pikirannya saat itu.
Siang tadi, saat Dokter Dhimas menemuinya untuk ke sekian kali dan mengajarkan Arinka agar lebih menghargai dirinya, dia senang. Ada perasaan lega yang menyambutnya. Namun sekarang, perasaan itu menguap begitu saja.
Kalimat ‘saya berharga’ yang tadinya bisa melambungkan perasaannya, kini terasa hampa. Kenyataannya, melepas masa lalu memang tidak semudah mengucapkan dua kata itu kan?
Bergerak gusar, Arinka mencoba memejamkan matanya. Belum genap satu detik matanya terpejam, dia sudah membukanya kembali. Bayangan itu masih menghantuinya. Gema suara orang itu masih terngiang di telinganya.
“Arrghh!” Suara teriakan Arinka membangunkan mamanya. Dengan sigap, Mama memeluk Arinka dalam dekapannya.
“Mama di sini, Rin. Mama di sini. Kamu tenang ya,” ucap Mama menenangkan seraya mengelus punggung Arinka yang bergetar.
“Jangan tinggalin Arinka, Ma. Arinka takut.”
“Iya, Sayang. Mama di sini, kamu jangan khawatir ya.”
Arinka mengangguk, memeluk mamanya semakin erat seakan jika dia melepasnya, mosnter itu bisa menyelinap masuk di antara keduanya.
Dan malam-malam yang dilaluinya terasa sangat panjang.
***
“Mbak Rinka!” Sebuah kepala menyembul dari balik pintu.
Arinka mendongak, memperbaiki posisi duduknya. “Lala? Kamu sendirian? Lingga sama yang lain mana?” tanya Arinka celingukan setelah Lala masuk dan menutup pintu kembali.
“Mas Lingga sama yang lain lagi ngobrol sama dokter, Mbak. Dokternya ganteng.” Lala cengengesan, walaupun dokter yang dia maksud memang ganteng mirip idol Korea pikirnya.
Gadis itu mengambil duduk di sebelah Arinka. Mengamati sekilas jarum infus yang tertancap di pembuluh darah itu. “Mbak kok jarang main lagi sih ke rumah. Sepi tahu. Lala nggak punya temen nonton drama Korea lagi.”
Arinka tersenyum melihat wajah Lala yang cemberut. “Kan ada Mas Lingga.”
“Mas Lingga?” Lala pura-pura kaget. Dia menepuk jidatnya sendiri. “Aduh, Mbak. Mas Lingga itu nggak bisa dijagain kalau diajak nonton begituan. Dia suka salah fokus sama nama pemainnya. Masa Minah Girls Day disamain sama Mbok Minah pembantu tetangga sebelah. Kan beg—”
“Siapa yang bego, La?” Tanpa disadari, Lingga sudah berada di samping Lala bersama kedua temannya. Tangannya memegang bahu adiknya kuat. Alisnya terangkat sebelah. “Siapa?”
“Anu ... itu lho Mas Raska yang bego. Nggak bisa bedain nama orang Korea.” Lala menjentikkan jari. Tidak sadar Raska berada di sana.
Lingga mati-matian menahan tawa, Ndof yang berada di samping Raska terbahak, bertepuk tangan seperti lumba-lumba yang baru diberi makan.
“Kok jadi gue sih, La!” ucap Raska sewot, menyikut Ndof agar tidak menertawakannya.
“Lho, Mas Raska udah di sini juga ya?” Lala berlagak pilon, membuat Arinka tersenyum. Gadis itu senang melihat semua teman-temannya di sini membuatnya lebih tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
SENANDIKA [completed]
Teen FictionRaska, Lingga dan Ndof mempunyai sifat dan cara berpikir yang berkebalikan. Saling menghujat, mengejek, dan bertengkar mungkin makanan sehari-hari untuk mereka. Ancaman untuk berhenti berteman seringkali mereka ucapkan. Meskipun begitu, tidak ada s...