Masa lalu
"Boleh."
Setelah satu menit berlalu, Lingga akhirnya bersuara. Mewakili kedua temannya yang tiba-tiba berubah menjadi gagu dan lupa caranya menjawab. Di barat, Matahari sudah benar-benar tenggelam. Hitam mulai menggantikan jingga di langit.
Arinka bergerak gelisah. Kakinya terayun pelan. Dia bingung harus memulai cerita darimana. Terlalu banyak yang terpendam. Sampai-sampai, menurut Arinka, satu malam tidak akan cukup untuk menceritakan semuanya.
Belum lagi konsekuensi yang nantinya ditimbulkan. Arinka tidak yakin Lingga, Raska dan Ndof masih mau berteman setelah ini.
Melihat Arinka hanya diam, Raska akhirnya bertanya "Rin, ada apa sih? Lo lagi ada masalah?"
"Gue ... pernah hampir diperkosa." Dalam satu tarikan napas, kalimat itu terucap. Dengan suara selirih embusan angin. Dan dengan kepedihan yang tersimpan.
Arinka lantas menunduk. Tidak berani menatap ketiga sahabatnya. Dia terlampau takut untuk melihat ekspresi mereka setelah pengakuannya tadi. Benaknya bertanya-tanya ekspresi apa yang sekarang mereka tunjukan. Prihatin? Kasihan? Atau jijik?
Iya. Pasti mereka jijik sama gue, duga Arinka.
Karena sebenarnya, Arinka sendiri jijik dengan dirinya. Berulang kali membasuh seluruh bagian tubuhnya saat mandi tidak membuat jejak yang pernah tertinggal di sana menghilang. Kulitnya bahkan sering terkelupas karena kerasnya Arinka menggosok. Tapi jejak itu selalu ada. Jejak itu menghantuinya.
"Sama siapa?" Lingga kembali memecah keheningan. Tangannya terkepal erat di kedua sisi tubuhnya.
Pertanyaan sederhana dari Lingga nyatanya terlampau sulit untuk Arinka jawab. Kenangan itu kembali menyerbu pikirannya. Monster yang selama ini selalu membuatnya bermimpi buruk merangkak keluar dari sudut otaknya. Monster itu tersenyum mengejeknya.
"Om gue." Suara Arinka bergetar menahan tangis. "Namanya Om Yudi. Adik dari Mama." Dengan kedua tangan Arinka menekan kedua matanya. Berusaha menghentikan air mata yang mulai meluncur deras.
Kalau Lingga, Raska, dan Ndof punya riwayat penyakit jantung, pasti saat ini ketiganya ditemukan meninggal karena serangan jantung—saking kagetnya.
Bagaimana tidak? Fakta bahawa Arinka pernah hampir di perkosa—dan bagaimana hebatnya Arinka berhasil menyembunyikan hal itu dari mereka—saja sudah cukup mengagetkan. Apalagi ditambah kalau pelaku bejat yang nyaris melakukannya adalah om Arinka sendiri. Yang jelas-jelas masih mempunyai hubungan darah dengan Arinka.
"Kejadiannya sudah lama. Waktu gue kelas dua SMP. Waktu itu Om Yudi datang dari Bali untuk menghadiri acara seminar di sini selama dua minggu. Om Yudi baik banget. Ngajarin gue matematika. Beliin gue baju baru dan makanan enak. Gue sayang sama Om gue itu.
"Tapi, setelah satu minggu Om Yudi ada di sini, gue mulai merasa aneh. Om Yudi selalu ngelihatin gue dengan tatapan seolah gue ini adalah makanan. Dan beberapa kali, pintu kamar gue terbuka sedikit waktu gue lagi ganti baju."
Arinka menarik napas panjang sembari menunggu mereka bertiga membuka suara. Tapi tidak ada satupun yang berniat membuka mulut. Ketiganya masih saja bungkam.
"Gue masih ingat. Siang itu—" Arinka tercekat. Rasanya, dia tidak sanggup untuk melanjutkan lagi. Bercerita seperti ini rasanya seperti sedang berusaha mengorek luka yang lama. Tapi ketiganya perlu tahu. Karena Arinka sadar, dia butuh pertolongan.
Beban yang dia pikul terlampau berat. Bercampur dengan rasa malu membuat berat bebannya makin menjadi. Arinka ingin--sedikit saja-- mengurangi beban ini dengan bercerita.
KAMU SEDANG MEMBACA
SENANDIKA [completed]
Teen FictionRaska, Lingga dan Ndof mempunyai sifat dan cara berpikir yang berkebalikan. Saling menghujat, mengejek, dan bertengkar mungkin makanan sehari-hari untuk mereka. Ancaman untuk berhenti berteman seringkali mereka ucapkan. Meskipun begitu, tidak ada s...