33. Mengumpulkan kenangan

591 79 5
                                    

Bab 33. Mengumpulkan Kenangan
  

   Lingga terpaku menatap kamera-kameranya yang dulu selalu dia bawa kemana-mana, yang kini hanya tersimpan di tempat penyimpanan barang. Jarinya mengelus pelan. Mimpinya yang terbuang, pikirnya. Lingga lantas mengambil salah satu kamera. Tanpa sadar, tangannya bergerak sendiri mengatur komposisi pada kamera, sebelum akhirnya memotret sisa kamera yang ada di sana.

   Senyum puasnya terbit tatkala melihat foto yang dia hasilkan masih sama bagusnya seperti dulu.

   “Mas.” Kepala Lala muncul dari balik pintu dan mengagetkan Lingga. “Lala mau berangkat nih. Mas nggak berangkat sekolah?”

   Lingga menatap jam yang melingkar di tangannya kemudian memasukkan kamera ke dalam tas kecil yang dulu selalu dia bawa. “Duluan aja La. Habis ini Mas berangkat, kok.”

   Lala mengangkat sebelah alisnya karena kakak laki-lakinya itu kembali membawa kamera. Tapi cewek itu kemudian menahan rasa penasarannya dan berlalu begitu saja dari sana.

  “Ini terakhir kalinya,” ujar Lingga lirih. “Gue butuh kalian. Kita kumpulin kenangan bersama ya.”

***

   “Ini lo bikin sendiri?” tanya Arinka sambil bergantian menunjuk Ndof dan wadah makan dengan garpu yang diacungkan.

   Ndof buru-buru memundurkan tubuh. Cara Arinka memegang garpu membuat Ndof bergidik ngeri. Dia takut dicolok garpu kalau nanti Arinka kesal. Setelah memastikan jarak aman dengan Arinka, cowok itu lantas menjawab dengan bangga. “Iya dong. Mulai hari ini gue bakal bawa bekal makan siang buat kita.”

   “Jadi kalian bertiga telat tadi pagi, gara-gara lo bikin ini ya?” Arinka setengah menuduh bahwa tadi pagi ketiganya dihukum berdiri di depan tiang bendera adalah karena ulah Ndof.

   “Enak aja. Itu gara-gara Lingga yang bentar-bentar berhenti buat moto,” bantah Ndof tidak terima. Tangannya bersiap menjauhkan wadah makan dari Arinka. “Lo nggak boleh ikut makan Pri. Gue sakit hati difitnah begini!” lanjutnya lebay.

   Lingga yang baru kembali dari kamar mandi segera bergabung dengan Arinka dan Ndof. Tangannya spontan terangkat naik, mengabadikan Arinka dan Ndof yang sedang tarik menarik wadah makanan. Suara jepretan kamera membuat keduanya refleks menoleh.

   “Yah, pose tadi jelek Ling. Ulangi dong! Pura-puranya candid gitu,” seru Arinka riang. Senyuman lebarnya menular pada Lingga dan Ndof. Keduanya lantas bersyukur Arinka sudah kembali cerita seperti dulu. Kali ini benar-benar ceria dan bukan hanya berpura-pura seperti dulu.

   Sepertinya hasil setiap minggu terapi dengan Dokter Dhimas berbuah baik. Arinka-mereka kembali. Meskipun Lingga, Raska dan Ndof sering direpotkan oleh permintaan aneh Dokter Dhimas untuk keperluan terapi.

   “Pose tadi bagus kok,” jawab Lingga lalu mengalungkan kembali kameranya.

   “Makanannya masih ada nggak?” Raska mendadak muncul dengan dahi penuh keringat setelah selesai bermain sepak bola.

   “Banyak kok, tenang aja Ras!” Ndof mulai membagikan satu persatu wadah makanan yang dia bawa. Dia sudah serupa induk ayam yang sedang memberi makan anak-anaknya saja. Ndof bahkan sudah lupa kalau tadi dia melarang Arinka untuk ikut makan.

SENANDIKA [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang