2. Hutan Pinus dan Nama Perempuan

1.3K 141 112
                                    


Hutan Pinus dan Nama Perempuan

"Ini kita di mana?" Ndof mencicit di bangku belakang. Dia beberapa kali beristigfar di dalam hati. Bulu kuduknya sudah berdiri sejak tadi.

Hari sudah beranjak malam. Di sekeliling mereka hanya ada pohon pinus yang menjulang tinggi. Tidak ada kendaraan lain yang lewat. Padahal baru pukul sembilan lebih. Beruntung tidak hujan dan sebagainya.

Tidak ada penerangan yang memadai di sepanjang jalan yang cukup berkelok ini. Satu-satunya cahaya adalah dari mobil mereka.

Tapi tetap saja suara jangkrik dan lolongan anjing di kejauhan membuat Ndof menyumpahi Lingga di dalam hati.

   Ndof ingin mengomel, tapi dia harus menahan pipis.

   Sejak tadi mobil yang dikemudikan Raska hanya berputar di tempat yang sama. Seingat Raska dia sudah mengambil jalan yang berbeda, namun selalu saja kembali ke tempat yang sama.

Raska menghela napas. Lingga sibuk dengan layar ponsel yang menampilkan GPS.

"Lo bisa pakai GPS nggak, sih?" Raska mulai kesal.

Lingga menjawab ringan. "Sinyalnya ilang."

"Sinyal gue juga ilang." Ndof menyahut dengan suara gemetar—takut dengan suasana mencekam di luar mobil. Dia bahkan memajukan tubuhnya, beberapa kali menengok ke kanan dan kiri. Takut jika di sebelahnya muncul sesuatu seperti muka hancur yang meringis dengan gigi yang tajam. Penampakan guling bertali tiga, atau sepasang tangan berlumuran darah yang mencekiknya dari belakang—Ndof paling benci situasi seperti ini. Benci!

Ndof tidak ingin mengompol untuk yang ketiga kali dalam hidupnya. Cukup dua kali saja. Dan itu sudah amat memalukan.

"Ndof, jangan ngompol dulu, Ndof. Kemarin sore baru gue cuci mobilnya." Raska segera memperingatkan, seakan bisa membaca pikiran Ndof.

"Sialan! Jangan diingetin dong. Gue udah sadar diri ini." Ndof menjawab sebal.

"Kalau nyuci mobil 'kan cuma luarnya. Dalam mobil nggak." Lingga mengoreksi.

Raska menoleh. Tak mampu berkata lagi.

"Ras, berhenti dulu dong. Gue mau pipis." Ndof menyela. Raska segera menepikan mobilnya.

Lingga turun tanpa diminta—berniat menemani Ndof. Raska menunggu di mobil. Tadi dia sudah menemani Ndof pipis ketika baru beberapa meter meninggalkan pantai. Sekarang giliran Lingga yang menemani.

Mereka kembali semenit kemudian. Ndof berpindah duduk di depan setelah mengomel sebentar di luar mobil.

"Lo 'kan yang nyetir sejak tadi? Masa' lo lupa jalannya?" Ndof gantian mengomel ke Raska.

Raska menjalankan mobilnya kembali. "Gue baru lewat sekali. Mana bisa langsung hafal!"

"Banyak orang yang hafal meski baru lewat sekali. Apri contohnya!" Ndof masih ngotot. Dia bebas marah sekarang karena sudah tidak menahan pipis lagi.

"Lo sendiri hafal?" Raska menginjak rem mendadak ketika sampai di pertigaan.

"Hafal?" Suara Ndof meninggi. Dia duduk di depan, takutnya sedikit berkurang. "Ya nggaklah! Gue 'kan cuma nebeng. Nggak lihat jalan!"

Raska sudah menahan diri sejak diri. Dia menahan untuk tidak menyalahkan Lingga yang mendadak labil ingin ke pantai saja. Padahal kemarin minta ditemani ke hutan pinus.

Kalau hutan pinus, Raska tidak keberatan. Tapi ini pantai, yang jaraknya dua kali lipat dari hutan pinus.

   Lingga yang Subuh tadi menggedor pintu rumahnya dengan heboh. Maksudnya, Lala yang heboh ikut menggedor pintu. Padahal Raska baru bisa tidur pukul 01.00 dini hari.

SENANDIKA [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang