32. Kenapa Harus Pergi?

682 80 15
                                    

Hidup Arinka berangsur normal—setidaknya itu yang terlihat secara sekilas. Gadis itu sudah bisa tersenyum, bahkan tertawa. Tapi apakah senyum dan tawa bisa dijadikan tolok ukur? Semakin lebar senyum apakah menandakan segalanya baik-baik saja? Bisa saja sebaliknya, menutupi segalanya. Dan tawa yang super menyenangkan itu, terdengar artifisial. Palsu.

Seminggu penuh absen dari sekolah, hari ini Arinka kembali masuk. Lingga, Raska dan Ndof pagi-pagi sudah ribut menjemput Arinka. Raska yang semalam insomnia, baru tertidur Subuh tadi, tidak sempat mandi ketika jeritan Ndof membangunkan. Gerobak Mamang Sayur belum terlihat, tapi mereka bertiga sudah meluncur ke rumah gadis itu. Mereka tidak sempat sarapan. Pun menolak ketika Mama Arinka menawarkan sarapan bersama.

Tidak ada perlakuan istimewa. Hanya saja, tanpa Arinka sadari, ketiga sahabatnya itu selalu mengawasi gerak-geriknya dari kejauhan. Mereka tidak mau mendekat dan menatap penuh khawatir. Mereka tahu itu hanya akan membuat Arinka risi. Jadi cukup begini saja. Yang penting Arinka selalu berada di radar mereka.

Teman sekelas Arinka tidak tahu apa-apa, itu kabar yang melegakan. Jadi tidak perlu ada drama Arinka yang murung duduk di kursinya—menerima tatapan aneh dan penghakiman dari mereka. Yang mereka tahu, Arinka absen seminggu ini karena kena cacar air. Itu ide gila dari Ndof, tapi cukup untuk membungkam kecurigaan. Kalau saja mereka teliti, tidak ada bekas cacar di kulit Arinka.

Hari ini jadwal terapi Arinka untuk pertama kalinya setelah keluar dari rumah sakit. Sejak kemarin Arinka terus merengek soal hunting makanan. Kalau biasanya, tanpa merengek pun, mereka pasti mengabulkan. Tapi keadaan sekarang berbeda. Lingga, Raska dan Ndof sudah berjanji akan mengantar Arinka pulang tepat waktu. Tidak ada keluyuran ke mana-mana.

“Kalau mau langsung terapi, kita antar. Tapi kalau hunting makanan … ehm … kita harus izin dulu ke nyokap lo.” Lingga hati-hati bicara. Arinka sedang rentan. Dia takut menyinggung. Intinya, mereka bertiga menolak ide hunting makanan.

“Dokter Dhimas yang ngajak hunting makanan.”

Raska menginjak rem mendadak. Lingga yang duduk di depan hampir mencium dasbor. Ndof menganga lebar. Lalu mereka kompak menoleh ke Arinka. Menahan segala ekspresi dan prasangka-prasangka yang akan terucap spontan.

“Dah, gue udah sms Mama.” Arinka mengangkat wajah dari ponselnya. Dahinya mengernyit. “Kenapa muka kalian?”

“Eh, nggak apa-apa. Mama bilang boleh?” Raska kembali melajukan mobilnya setelah diklakson berkali-kali.

“Gue udah bilang ke Mama kalau hunting makanan ini bagian dari terapi. Pasti boleh. Gue juga perginya sama kalian.”

Mereka diam-diam menghela napas lega.

Raska memarkirkan mobil di parkiran mal untuk kemudian menyeberang ke Black Market—seperti pasar tumpah yang menjual beragam makanan dan camilan. Komplit dan murah.

“Dokter Dhimas yakin ikut?” Raska bertanya. Maksudnya, dia dokter gitu hlo, apa iya mau jajan ke tempat beginian yang … kurang sosialita? Kalian ‘kan tahu, kelas sosial memang sekejam itu. Jangan naif.

Black Market berdiri di atas tanah seluas dua hektar. Entah, mungkin lebih. Yang jelas luas sekali. Pasar tumpah ini sudah ada sejak lama. Dan selalu ramai pengunjung. Mulai dari yang berseragam sekolah hingga pegawai kantoran. Campuran aroma makanan menguar, mengundang agar bergegas melangkah masuk. Tapi mereka masih bertahan di pintu masuk, menunggu dokter Dhimas.

“Maaf, saya telat.” Orang yang ditunggu muncul dari belakang mereka. Dokter Dhimas terlihat lebih kasual di balik hem flannel yang lengannya dilipat hingga siku. Jika biasanya menemui dokter ini dalam balutan celana kain dan jas putih, maka sekarang tidak ada yang menyangka jika dia adalah psikiater muda.

SENANDIKA [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang