Menjadi dewasa
Ndof menggeliat. Dinginnya lantai yang walau terlapisi dengan karpet tebal tetap menusuk ke dalam tulang. Masih setengah sadar, Ndof bangkit dan berpindah posisi ke atas sofa yang semalam digunakan oleh Mamanya.
Mengambil tempat di kanan sofa, Ndof meringkuk dengan kepala bersandar pada lengan sofa. Lingga yang semalam tidur di luar kini sudah berpindah tempat di sebelah kiri sofa, berseberangan dengan Ndof.
Sebelum benar-benar terlelap, Ndof melihat Raska berjingkat masuk ke dalam ruangan dan lantas mengambil tempat di tengah-tengah Ndof dan Lingga.
Wajah Raska terlihat sangat mengantuk, tapi dia tersenyum.
Senyum yang benar-benar senyum.
Senyum yang sudah jarang Ndof lihat di wajah Raska dan Lingga. Dan mungkin juga di wajahnya.
Ndof teramat ingin tahu penyebab senyum Raska pagi hari ini. Tapi dia terlampau mengantuk. Dan Ndof rasa, dia masih punya besok untuk bertanya.
Atau kalau Ndof lupa, dia masih punya lusa, atau minggu depan, atau bulan depan, atau setelah lulus nanti, atau saat perayaan pekerjaan pertama mereka, atau nanti saat mereka tua untuk bertanya perihal senyum Raska hari ini.
Dengan keyakinan masih punya waktu yang lama bersama-sama mereka, Ndof kembali masuk ke dalam alam mimpi.
***
"Maaf ya Mbak, saya sama Lala baru bisa besuk Mas Trian sekarang. Maklum, harus nunggu hari libur dulu baru bisa ke sini."
Ndof yang baru saja keluar dari kamar mandi dan terlihat lebih segar sedikit kaget mendapati Tante Anjani dan Lala mengisi tempat di sofa yang dia gunakan untuk tidur semalam. Keranjang berisi buah-buahan berada di atas nakas.
Pandangan matanya berkeliling, mencari keberadaan Raska dan Lingga sembari berjalan mendekat lalu menyalami tangan Anjani.
"Mereka Mama suruh sarapan Ndof." Seakan tahu, Fatiya menjawab terlebih dahulu bahkan sebelum Ndof bertanya.
"Kok nggak nunggu aku sih Ma?"
"Kamu 'kan mandinya lama. Mama nggak ngerti deh, kamu setengah jam di kamar mandi ngapain aja? Mama yang perempuan aja, mandi paling lama cuma lima belas menit. Itu pun sudah termasuk keramas sama luluran." Suara omelan Fatiya memancing gelak tawa seisi ruangan. Bahkan suster yang sedang mengganti cairan infus Trian ikut tersenyum geli.
"Ma, Ndof 'kan jadi malu," rengek Ndof sambil menutupi sebagian mukanya.
"Halah. Kamu kan biasanya malu-maluin Ndof!" ejek Fatiya.
Ndof mendesah singkat. Menyesali nasibnya yang pagi-pagi begini sudah dibully oleh mamanya sendiri.
Melirik singkat ke arah ranjang di tengah ruangan, Ndof mendapati Papanya tertawa sambil menatap ke arah Mamanya.
Ndof tersenyum simpul. Paling tidak Papanya bisa tersenyum lebar sekarang.
"Kamu nyusul ke kantin sana, Ndof!" Ndof menelengkan kepalanya ke arah Fatiya. Tumben sekali bully-an Mamanya berhenti sampai di sini.
"Kalau kamu pingsan, kasihan suster di sini pasiennya bertambah satu," tambah Fatiya.
Benar kan firasat Ndof, tidak mungkin Mamanya berhenti membully-nya begitu saja. Alhasil, Ndof cuma bisa meringis kesal.
"La, temenin Mas Ndof ya. Kasihan kalau sendirian, nanti Mas Ndof nyasar."
Perintah dari Anjani membuat Ndof yang sudah akan pergi kembali membalikkan badan.
KAMU SEDANG MEMBACA
SENANDIKA [completed]
Teen FictionRaska, Lingga dan Ndof mempunyai sifat dan cara berpikir yang berkebalikan. Saling menghujat, mengejek, dan bertengkar mungkin makanan sehari-hari untuk mereka. Ancaman untuk berhenti berteman seringkali mereka ucapkan. Meskipun begitu, tidak ada s...