22. Hal Paling Berat

394 70 22
                                    

Hal Paling Berat

 

Ada kelegaan tersendiri bagi Lingga saat melihat Ndof menangis. Dia tersenyum simpul dalam rasa simpatinya. Setidaknya, Ndof tidak berusaha tegar seperti biasanya. Berpura-pura riang agar teman-temannya tidak merasa khawatir.

Dalam hati, dia berterima kasih kepada Arinka yang selalu bisa menjadi tempat bersandar saat mereka lelah. Namun, sepertinya, tempat itu bukan untuk Lingga. Baginya, sekarang bukan saatnya lagi untuk memikirkan perasaan pribadinya. Ada perasaan lain yang sudah menjadi prioritasnya.

"Keluarga Bapak Trian?" Suara perawat menginterupsi bersama suara derit pintu ruang operasi yang terbuka.

Ndof menoleh, melepas pelukannya dari Arinka. "Iya, saya."
Lelaki itu mendekat pada sosok berseragam hijau-hijau.

"Operasi Bapak Trian berjalan dengan lancar, sekarang sedang berada di ruang pemulihan dan akan segera ditransfer ke bangsal rawat inap."

"Papa saya baik-baik aja kan, Mbak?" Ada nada khawatir dari suara serak Ndof.

Perawat tersebut mengangguk. "Bapak Trian sekarang sedang dalam pemantauan dan dalam keadaan stabil."

Ndof mengembuskan napas lega. Bahunya yang tegang langsung melorot. "Makasih, Mbak," ucapnya saat melihat perawat tersebut masuk kembali ke dalam ruang operasi.

Raska dan Lingga mendekat, memegang bahu Ndof untuk memberi kekuatan.

"Semua baik-baik aja, Ndof." Lirih Raska yang langsung mendapatkan anggukan dari Ndof.

***

Setelah Fatiya datang dengan membawa baju ganti, dia menyuruh Ndof dan ketiga temannya untuk pulang, mereka harus sekolah.

Perdebatan sempat terjadi antara ibu dan anak tersebut, tapi Ndof akhirnya mengalah begitu mendapat teguran dari perawat yang sedang berjaga.

Dengan bersungut, lelaki itu pulang bersama teman-temannya. Untuk kedua kalinya, mobil yang melesat menembus jalanan itu hanya diisi oleh suara deru mesin mobil.

Semua menekuri pikiran masing-masing. Raga mereka memang bersama, tapi pikiran mereka berkelana. Entah bagaimana, seakan tidak ada yang berjalan mulus di kehidupan mereka.

"Makasih, Ras, Ling." Dengan memaksakan senyum, Ndof segera turun dari mobil tanpa menunggu kedua temannya.

"Ndof ...."

"Kompak banget lo berdua." Ndof tertawa sumbang dengan wajah pucat pasinya. "Gue baik-baik aja."
Kalimat yang terlontar itu sangat kontras dengan keadaan Ndof sekarang. Mata sembab, rambut kriting yang semakin berantakan, dan wajah lesu yang memaksakan senyum itu membuat Lingga dan Raska hanya terdiam.

"Lo punya kita, Ndof." Lingga tercekat dengan kalimatnya sendiri. Di saat seperti ini, dia bukanlah penghibur yang baik seperti biasanya. Karena apa pun yang dia katakan, sebenarnya hanyalah ungkapan isi hatinya yang dia sembunyikan.

Ndof hanya mengangguk, menutup pintu mobil dan bergegas masuk ke rumahnya.

***

SENANDIKA [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang