18. Topeng baik-baik saja

460 83 78
                                    


Topeng baik-baik saja

   Ndof berkali-kali menghembuskan napas panjang sejak dia diusir pulang oleh Raska. Dengan sengaja cowok berambut berantakan itu memelankan kecepatan jalannya karena sesungguhnya dia tidak ingin cepat-cepat pulang.

   Di depan rumah bercat putih itu, Ndof berdiri diam. Tidak terdengar suara apapun dari dalam, rumahnya sunyi. Ndof tersenyum maklum, karena sudah sering rumahnya sepi seperti sekarang. Semua orang--Papanya, Mamanya, kedua kakak perempuannya--sudah pasti sedang sibuk bekerja. Mencari uang yang katanya adalah sumber kebahagiaan.

   Uang memang bisa menciptakan kebahagiaan, tetapi bagi Ndof, ada berbagai cara menciptakan kebahagian tanpa uang. Duduk dan saling melempar candaan seperti dulu, misalnya. 

   "Loh, Mas Ndop kok cuma berdiri di luar daritadi? Lupa bawa kunci ya Mas?" Suara Pak Slamet yang menyapa riang membuat Ndof melengkungkan bibirnya ke atas.

   "Masa sih Pak? Perasaan saya baru saja berdiri di sini deh," jawab Ndof lalu tertawa renyah. "Duduk dulu yuk Pak, saya buatin minum."

   Wajah pria tua itu berubah bingung. Karena sejak lima menit yang lalu, Pak Slamet sudah mengawasi Ndof yang hanya menatap pintu rumahnya, tanpa melakukan apa-apa. "Bapak mau saja sih Mas. tetapi maaf, Bapak masih harus keliling kompleks lagi. Mungkin lain kali saya mampir." Pak Slamet langsung merasa tidak enak karena Ndof memasang wajah kecewa. Padahal selama bekerja menjadi satpam di sini, tidak pernah Pak Slamet melihat Ndof tidak tersenyum seperti sekarang.

   Ndof lalu tersenyum mengerti kemudian melambaikan tangannya pada Pak Slamet yang mulai mengayuh sepeda onthelnya menjauh. "Sendirian lagi," kata Ndof. Tangannya mengambil ponsel dari saku celananya. Berkali kali membuka dan mengunci layar ponselnya. Mulutnya merapalkan cheese seolah itu adalah sebuah mantra.

   "Cheese," erangnya pelan. Tidak ada apapun yang terjadi. Hanya bibirnya yang dipaksa ditarik ke atas membentuk  sebuah lengkung senyum yang dipaksakan. "Jangan lupa senyum hari ini Ndof. Meskipun lo lupa caranya bahagia, lo harus ingat untuk tetap senyum, apapun keadannya." Ndof berkata sedih pada bayangannya yang tampak dari kaca di pintu rumah. 

   Dengan satu sentakan, pintu besar itu terbuka. "Ndof pulang!" teriaknya.

   Tetapi tidak ada yang menyambutnya, selain rasa sepi. Sepi yang sudah lama mengambil tempat di hidupnya. Sepi karena semua orang meninggalkannya sendirian. Sepi karena tidak pernah ada yang tahu dia kesepian. 

***

   "Ndof mau sarapan pakai apa?" suara Bunga menyambutnya saat Ndof turun untuk sarapan. Di sebelah Bunga, Jihan sedang memakan sarapannya dengan tenang. Ndof melirik Bunga sekilas sebelum mengalihkan pandangan pada Papa dan Mamanya yang terlihat enggan berdekatan satu sama lain.

   Papanya, sibuk membaca koran dengan tangan kanan memegang cangkir berisi kopi hitam. Sedangkan Fatiya, Mamanya, sedang memasak untuk pesanan katering hari ini. Pemandangan seperti inilah yang selalu dia lihat setiap hari. Dan Ndof sudah bosan.

   "Ndof makan sekalian jalan aja Mbak. Takut telat. Ndof pergi dulu, Pa, Ma," pamit Ndof sembari mengambil setangkup roti dengan isian meses coklat dari meja.

   Cowok berseragam abu-abu membenci sepi karena sendirian. Tetapi dia lebih benci saat semua keluarganya ada dan lengkap seperti sekarang, tetapi tetap saja rasa kesepiannya tidak hilang.

   "Andofa...." Mendengar suara Papanya, Ndof seketika berhenti. "Jangan berulah lagi. Kamu calon dokter. Dan calon dokter tidak boleh berbuat kesalahan."

SENANDIKA [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang