Arinka jatuh terduduk, menangis.
Ketika itu, orangtua Arinka yang baru pulang lengkap dengan setelan batik, berlari ke dapur setelah mendengar keributan. Mereka terperangah melihat darah yang menetes di lantai dapur. Lebih dari itu, mereka mendapati Arinka menangis. Apa yang sudah terjadi?
Mama Arinka menatap semua orang di dapur, satu per satu. Tapi dia tidak menemukan jawaban apa pun. Semua orang mendadak membisu. Dia melangkah untuk memeluk Arinka yang entah menangis karena apa. Kecamuk menyerangnya. Dia tidak pernah melihat putri semata wayangnya menangis seperti ini. Ada apa?
Raska melihat tetesan darah di lantai semakin banyak. Seolah ada yang mencubitnya, dia kemudian tersadar dan cepat-cepat mencari serbet. Meraih tangan Lingga yang terluka dan membebatnya sebelum darah kembali menetes. Sementara Ndof hanyut menatap Arinka yang sedang hancur.
Dapur itu senyap, menyisakan tangis Arinka yang semakin mengiris di dekapan mamanya. Andai saja mamanya tahu, itu adalah tangis putri kesayangan mereka yang terkubur selama beberapa tahun. Tangis yang terpaksa Arinka bungkam, demi menjadi normal-terlihat baik-baik saja. Lalu, ketika tangan hangat Mama merengkuh, dia ingin sekali mengadu.
Bertahun-tahun, dia sudah lelah dan kalah.
***
Lantai klinik itu sama dinginnya dengan perasaan mereka. Lingga yang tangan kanannya selesai diperban, menyusul duduk di kursi depan klinik.
"Arinka ...." Ndof membuka suara, namun ragu melanjutkan.
"Udah saatnya Arinka bicara. Nggak selamanya dia bisa lari." Lingga menekuri garis lantai di bawah kakinya.
Raska sepakat dengan Lingga. "Satu-satunya cara, Arinka harus hancur sekali lagi."
Malam merangkak naik. Hari hampir berganti. Angin malam dari celah kaca taksi membuat mereka menggigil. Tiba-tiba mereka bisa merasakan Arinka yang terbangun menggigil, terjaga sepanjang malam ketika mimpi buruk masa lalu itu datang. Hanya sendiri memeluk semua resah dan takut.
Tidak ada percakapan apa pun. Dalam diam, mereka satu pemikiran. Memikirkan apakah malam ini Arinka bisa tidur dengan nyenyak, atau tidak.
Tentu saja tidak.
***
"Kamu belum tidur, Sayang? Boleh Mama masuk?"
Pintu kamarnya diketuk pelan. Arinka yang duduk di tepi kasur menatap langit malam, menoleh. Jemarinya saling meremas. Ragu apakah harus menjawab atau pura-pura sudah tidur saja? Dia tidak ingin Mama melihat dirinya yang kembali hancur. Kembali menangis meratap ke langit gelap. Putri kesayangan yang selama ini selalu terlihat tegar, kini tertatih melawan pikiran gila untuk mengakhiri hidup.
"Mama tahu kamu belum tidur."
Arinka berdiri, melangkah ke pintu dan memutar kunci. Sebelumnya dia mengusap pipinya yang basah. Tapi percuma. Bekas air mata itu tidak hilang dalam sekali-dua usapan.
Pintu berderit terbuka. Arinka menatap mamanya ragu. "Kenapa, Ma?"
"Mama belum bisa tidur. Kamu besok libur, 'kan?" Mama tersenyum, alih-alih menunjukkan kecemasannya.
Arinka kembali duduk di tempatnya semula ketika Mama menutup jendela namun tetap membiarkan gordennya terbuka. Dia tetap memberi ruang untuk Arinka lari. Ya, lari dari apa pun itu.
Mama menyusul duduk di sebelahnya. Ada banyak hal yang ingin sekali dia tanyakan. Tapi dia tidak tahu harus mulai dari mana. "Lingga kenapa bisa terluka?"
![](https://img.wattpad.com/cover/144722497-288-k147606.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
SENANDIKA [completed]
Novela JuvenilRaska, Lingga dan Ndof mempunyai sifat dan cara berpikir yang berkebalikan. Saling menghujat, mengejek, dan bertengkar mungkin makanan sehari-hari untuk mereka. Ancaman untuk berhenti berteman seringkali mereka ucapkan. Meskipun begitu, tidak ada s...