Arinka, di Mata Raska"Ngapain?" Raska menyembul di balik pintu.
"Tidur rumah lo."
Raska membuka pintunya. Ruangan di lantai satu tampak temaram. Hanya satu lampu yang menyala.
Kiti setia mengikuti langkah kaki Raska. Kiti hafal dengan Lingga dan Ndof. Meski mereka cuek padanya. Tapi melihat mereka bersahabat baik dengan Raska, Kiti pun menerima kehadiran mereka.
Tolong jangan ingatkan Kiti dengan makhluk jadi-jadian, yang besok pagi pasti muncul di depan rumah.
Kiti sudah sebal dan lelah.
"Gue matiin lampunya?" Lingga sudah tanggap.
Raska yang keluar dari kamar mandi, mengangguk. Tidur dengan Lingga jauh lebih mudah daripada tidur dengan Ndof.
Gorden di pintu yang menghubungkan kamar Raska dengan balkon sengaja tidak ditutup. Sehingga cahaya bulan di langit menerobos masuk.
Raska masih terjaga, menatap bulan bundar—yang sudah dia tatap lama di atap tadi.
"Lo kenapa?" Lingga bersuara, menatap langit-langit kamar.
"Nggak apa-apa."
"Lo kalau naik ke atap pasti ada masalah." Bukan hanya sekali ini saja Lingga melihat Raska duduk di atap bersama Kiti.
"Kiti rewel minta lihat bulan katanya."
Kiti yang memposisikan diri tidur di tepi kasur mengeong ketika namanya disebut. Kiti hampir terlelap, tapi mendengar suara Raska, dia kembali terjaga.
"Gue nggak bego."
"Hahaha!"
Kiti mengeong lagi. Dari tepi kasur, dia berpindah ke kaki Raska yang terselimuti. Dia bergelung manja di sana, mencari posisi yang nyaman.
Hening. Suara detak jarum jam terdengar. Kiti sudah terlelap. Namun Raska masih menatap bulan lewat kaca pintu.
"Ling ...."
"Hm?"
"Tante Jani apa kabar?" Raska bertanya aneh.
"Baik."
"Gue udah jarang minta makan di rumah lo."
"Mama akhir-akhir ini lembur. Pulang malam. Gue yang ambil alih tugas masakin Lala."
"Masakan lo mana enak." Raska terkekeh. "Gue jamin isinya cabe semua."
"Lala kemudian menobatkan Ndof sebagai kakak idaman." Lingga ingat kalimat Lala beberapa hari yang lalu ketika peristiwa telur-dadar-rasa-merica.
Raska tertawa lagi. Terdengar dipaksakan.
"Nggak usah ketawa kalau nggak lucu."
Kemudian tawa Raska lenyap. Kiti yang menindih selimut di kakinya sudah sibuk di alam mimpi. "Lo kalau sampai nendang Kiti lagi dari kasur, gue tendang lo pulang lewat balkon."
Minggu lalu ketika Lingga tidur di rumahnya, Kiti yang salah mengenali kaki majikannya, tertendang oleh Lingga.
Lingga panik dan refleks menendang ketika merasakan sebuah pergerakan di kakinya.
"Yaelah, cuma nendang sekali doang. Kiti juga nggak lecet."
"Tapi dia kaget."
Lingga mengalihkan, malas berdebat soal Kiti. "Ini ya alasan lo suka gelap?"
KAMU SEDANG MEMBACA
SENANDIKA [completed]
Novela JuvenilRaska, Lingga dan Ndof mempunyai sifat dan cara berpikir yang berkebalikan. Saling menghujat, mengejek, dan bertengkar mungkin makanan sehari-hari untuk mereka. Ancaman untuk berhenti berteman seringkali mereka ucapkan. Meskipun begitu, tidak ada s...