Tawuran 2
Suasana pagi itu cukup mencekam.
Sebenarnya pagi ini indah. Langit bersih tanpa mendung. Awan putih berarak pelan membentuk gumpalan indah.
Tapi, sepuluh menit yang lalu, debu-debu beterbangan bersama peluh dan darah yang menetes di atas seragam putih. Baju-baju yang koyak, sobek sana-sini. Teriakan-teriakan penuh amarah bergema merusak pagi yang indah. Tongkat bisbol dan sabuk saling melayang, menghantam punggung-punggung.
Pagi itu, mereka menggila. Jiwa-jiwa muda seakan mendidih, ikut terpanggil ketika nama solidaritas diagung-agungkan. Dijadikan tameng untuk tindakan bodoh mereka.
Gerbang sekolah ditutup rapat-rapat. Mencegah anak kelas sepuluh yang salah kaprah memahami makna solidaritas yang sesungguhnya. Juga takut akan banyak murid yang terlibat. Bu Tutik sudah berdiri geram di balik gerbang. Mata lebarnya menatap nyalang. Muka putihnya memerah menahan kesal. Sebentar lagi, beliau siap meledak.
Lingga dengan sisa tenaga berusaha membawa Arinka ke tempat yang aman. Namun selalu gagal karena lawan berhasil menghadang pergerakan mereka. Seakan tidak ada seorang pun yang boleh meninggalkan jalan raya—yang berubah menjadi area tempur.
Raska kembali terbanting ke aspal, satu bogem melayang—yang gagal dia tepis—mengenai tulang pipinya. Raska ingin bangkit, membantu Lingga yang mengamankan Arinka. Tapi apalah daya, orang yang berada di atasnya ini cukup tangguh.
Sebelum satu pukulan kembali melayang, Raska menendang perut sang lawan—yang tidak dia ketahui namanya—hingga terdorong menjauh. Raska mengambil ancang-ancang, dia memutar tubuhnya, menjejakkan kaki kanannya tepat di kepala sang lawan hingga jatuh tersungkur mencium aspal.
Raska membuang napas kasar, matanya bergerak cepat mencari keberadaan ketiga sahabatnya di antara kabut debu. Lingga masih saja baku-hantam dengan seseorang, dengan Arinka yang berdiri gemetar di balik punggungnya. Ndof juga tak kalah mengenaskan, tersudut dengan luka lebam.
Raska melangkah lebar menuju Lingga dan Arinka, berhasil menghindar ketika beberapa orang melesakkan pukulan. Raska balas mengayunkan tangannya, menyasar mengenai perut dan dada.
Arinka yang tersudut di balik punggung Lingga, semakin pias dengan wajah yang memucat. Keringat seketika membasahi tubuhnya. Dia takut dan tanpa sadar meremas ujung seragam Lingga semakin erat.
Raska sampai di tempat Lingga berada. Dia menarik dengan kasar bahu orang yang sejak tadi bertarung dengan Lingga. Orang itu tertarik mundur. Mata nyalangnya menatap Raska. Kini targetnya berubah.
Wajah lebam Raska menyeringai.
Baru satu langkah Raska maju, terdengar sirine bergema memecah gaduh. Gerakan-gerakan memukul terhenti.
Tangan kanan Bu Tutik teracung tinggi-tinggi dengan toa dalam genggaman.
Sirine berhenti, digantikan dengan suara tajam Bu Tutik. "Perhatian! Bagi yang merasa anak didik kami, segera merapat ke gerbang! Kami akan buka gerbang dalam waktu satu menit!"
Hening. Wajah-wajah mengernyit tidak mengerti. Lingga segera menarik tangan Arinka menuju gerbang sekolah.
Raska menatap Bu Tutik—guru BP yang kelewat nyentrik—sedang duduk di singgasananya. Sebuah bangku tinggi yang digunakan wasit bulutangkis terparkir manis di balik gerbang. Menampakkan wajah menyeramkan Bu Tutik.
"KALIAN TUNGGU APALAGI! WAKTU BERJALAN. TINGGAL SETENGAH MENIT!" Suara keras itu semakin memekakkan telinga lewat toa.
"Ndof! Ndof!" Bu Tutik beralih ke sudut yang lain. Dan kebetulan menangkap sosok Ndof. "Jangan ngompol di sana!"
KAMU SEDANG MEMBACA
SENANDIKA [completed]
أدب المراهقينRaska, Lingga dan Ndof mempunyai sifat dan cara berpikir yang berkebalikan. Saling menghujat, mengejek, dan bertengkar mungkin makanan sehari-hari untuk mereka. Ancaman untuk berhenti berteman seringkali mereka ucapkan. Meskipun begitu, tidak ada s...