28. Tangis Arinka

497 67 7
                                    

Tangis Arinka
 


Arinka duduk di ruang tamu dengan mencubiti ujung rok seragamnya. Sebagian jarinya sengaja dia tenggelamkan dalam lengan jaket yang kebesaran. Gadis itu menunduk, tidak kuat jika harus melihat sosok mengerikan itu berada dalam satu ruangan bersamanya. Dia menggigit bibirnya kuat, menahan tubuhnya agar tidak gemetaran.

"Kita di sini, Rin." Seakan bisa membaca ketakutan Arinka, Lingga yang duduk di sebelahnya berbisik, mencoba untuk menenangkan meski dadanya bergemuruh ingin sekali menghajar wajah sok polos Om Yudi.
Arinka mengangguk pelan, sorot matanya tidak lepas dari lantai dingin di bawah kakinya.

"Jadi, yang mana nih pacarnya Arinka?" Suara menjengkelkan itu terdengar lagi. Raska dan Ndof yang duduk berseberangan dengan Arinka menoleh cepat ke arah Om Yudi yang berada di sisi kanan mereka.

Wajah itu memasang senyum tidak berdosa, seakan tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Ndof mengerang tertahan, ingin sekali merangsek maju dan langsung menghajar wajah penuh kamuflase itu.

Namun, Raska memberikan isyarat dengan menyipitkan mata kepadanya. Seolah berbicara, "lo jangan gegabah, Ndof!" dengan intonasi mengintimidasi. Dan niatan menghajar Om Yudi itu urung terlaksana.

"Kok diem aja? Nggak usah canggung sama, Om." Om Yudi tertawa renyah. "Iya kan, Arinka?" Dengan suara menggoda, Om Yudi menatap Arinka dari atas hingga bawah. Seringai nakal terbit di bibirnya.

Tubuh Arinka seketika kaku, jari-jarinya berhenti mencubiti ujung rok seragamnya.

Tanpa membaca ekspresi ketakutan di wajah Arinka, Om Yudi melanjutkan bercerita. "Om sama Arinka itu akrab banget lho. Dulu Arinka sering minta diajarin matematika sama om. Kalau Arinka dapet nilai bagus, biasanya kita langsung belanja bareng ya, Rin?"

Tidak ada tanggapan dari Arinka. Bahkan Lingga, Ndof, dan Raska hanya diam menahan amarah.
"Dari dulu Arinka itu udah cantik, lho. Kulitnya putih, badannya ramping ...." Om Yudi semakin menatap intens Arinka, seolah gadis itu mangsa yang siap diterkamnya. "Sekarang jadi makin cantik dan s—"

"Rin!"

Arinka tersentak, begitu pula dengan Om Yudi, Raska, dan Ndof. Mereka serempak menoleh ke arah Lingga.

"Gue haus nih." Lingga tersenyum seraya memegang lehernya.

Ndof ikut tersenyum. "Iya lo, Pri. Tamu kok dianggurin terus kayak hatinya Mamang Sayur."

"Lo kok bawa-bawa Mamang Sayur sih, Ndof? Lo kangen sama dia?" Raska terkikik geli mendengar ucapannya sendiri.

"Sembarangan lo kalau ngomong! Lingga tuh!"

"Kenapa jadi gue! Raska tuh yang tiap hari diapelin sama Mamang! Curiga gue, diem-diem mereka ketemuan."

"Kamp ...." Raska tidak melanjutkan ucapannya saat melihat Arinka tersenyum tipis. Dia sedikit lega, setidaknya kehadirannya bersama Lingga dan Ndof dapat menghibur gadis itu.

"Ehm!" Suara dehaman Om Yudi menyentak mereka. Arinka yang tadinya sempat lupa dengan kehadiran orang itu, kembali menundukan kepala.

"Iya, Arinka. Buatin temen-temen kamu minum, kasihan kan jauh-jauh pasti haus." Om Yudi bangkit dari duduknya. Berjalan menuju Arinka dan membelai rambut gadis itu.

Dengan cepat, Arinka menepis tangan Om Yudi. Tubuhnya seketika gemetaran, ingatan tentang kejadian laknat siang itu kembali. Perasaan jijik pada dirinya sendiri menghinggapi pikirannya.

Gadis itu beringsut saat wajah Om Yudi mendekat. "Kok tangan Om ditepis sih? Arinka sekarang galak ya?"

Melihat itu, Ndof berdiri. Tangannya terkepal siap melayangkan tinju pada wajah mesum lelaki itu. Namun, Raska menahannya meski dengan amarah meluap yang sama. Dengan bersungut, Ndof kembali duduk. Matanya tidak lepas menatap si brengsek itu.

SENANDIKA [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang