30. Meledak

548 79 22
                                    

"Aku hampir diperkosa oleh adik kesayangan Mama."

"Kamu ... nggak lagi bercanda 'kan Sayang?" Mama bertanya. Matanya menyelidik dan suaranya terdengar bergetar. Bagai tersambar petir, perempuan paruh baya itu lantas mundur perlahan dari tempatnya duduk. Dia setengah tidak percaya dengan apa yang barusan Arinka ucapkan.

Arinka menggeleng.

"Tapi ...."

"Arinka tahu, Mama nggak bakal percaya sama Arinka." Gadis itu bergumam lirih.

"Bukan gitu, Arinka ...." Mama berusaha mendekat. Tapi Arinka menolak. Gadis itu menjauh sampai akhirnya Arinka terduduk di lantai pojok kamarnya dengan wajah memeluk lutut. "Rin ... Sayang ... Mama bukannya nggak percaya sama Arinka. Tapi, Om Yudi nggak mungkin ngelakuin hal itu. Om Yudi adik Mama, Rin."

Mama jelas saja bingung. Om Yudi adalah adiknya. Adik kandungnya sendiri. Yang masih memiliki ikatan darah dengannya dan Arinka. Om Yudi nggak mungkin melakukan hal rendah seperti itu. Apalagi terhadap keponakannya sendiri.

Tapi melihat kondisi Arinka yang seperti ini, Mama juga tahu bahwa Arinka tidak mungkin mengarang cerita.

"Arinka nggak bohong, Ma." Di pelukan Mama, Arinka terus mengulang pernyataan yang sama.

Mama bergeming. Tangannya terus mengusap puncak kepala Arinka yang masih menangis.

"Arinka nggak bohong sama Mama. Om Yudi jahat, Ma. Orang jahat itu nyaris memperkosa Arinka."

Dengan terbata-bata, Arinka kembali menceritakan kejadian siang itu. Cerita Arinka melompat dari satu kejadian ke kejadian lain. Luapan emosi itu membuat Arinka seringkali berhenti bercerita karena harus mengatur napasnya yang habis.

Seiring cerita Arinka menuju akhir, wajah Mama terlihat semakin pucat.

"Sekarang, Mama percaya 'kan sama Arinka?" Arinka mengangkat wajahnya. Menatap Mamanya yang mulai menangis.

"Mama minta maaf Rin. Maafin Mama, Arinka."

Selepas itu, kehebohan terjadi. Mama yang seumur hidupnya selalu terlihat tenang kali ini meledak. Dia melemparkan barang-barang milik Om Yudi keluar ke jalanan. Disertai dengan umpatan-umpatan yang selama ini tidak pernah terucap dari bibirnya.

Belum cukup itu saja, Papa Arinka juga turut memukuli adik dari istrinya itu setelah mendengar penjelasan dari bibir istrinya. Beberapa tetangga yang mendengar keributan terlihat mengintip dari balik jendela. Tidak berani mendekat. Mungkin pikir mereka tidak pantas ikut campur urusan keluarga orang lain. Tapi dari teriakan-teriakan yang tak berhenti, mereka tentu tahu apa yang tengah terjadi.

Dan apalagi yang lebih buruk dari penghakiman manusia?

***

Arinka sedang berjalan pulang sendirian ke rumahnya sore itu. Tanpa Lingga, Raska dan Ndof yang biasanya mengantar pulang. Ketiganya sedang ada pertandingan bola yang tidak bisa ditunda. Dan Arinka malas kalau harus menunggui mereka sampai malam nanti.

Para tetangganya sedang berkerumun dan bergosip. Langkah Arinka terhenti ketika salah seorang tetangganya memanggil. "Arinka baru pulang?" sapa salah seorang ibu yang mengenakan baju merah menyala. Alisnya tercetak tebal dan menukik di wajah yang terpoles make up itu.

Mencoba ramah, Arinka tersenyum seraya mengangguk. "Iya, Bu."

"Kok nggak dianter sama cowok-cowok itu lagi?"

"Mereka ada urusan Bu. Permisi, saya duluan ya Bu." Arinka bergegas pergi. Dia tidak terlalu nyaman berada dengan para tetangganya itu.

"Saya jadi ragu deh Bu, kalau Omnya yang jahat. Lah, keponakannya sendiri aja kayak gitu. Cowoknya banyak."

SENANDIKA [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang