Prilly merapikan alat shalat yang digunakannya lalu menaruhnya kembali pada tempatnya. Saat ini, Prilly tengah menjalankan ibadah shalat zuhur di mushola yang terdapat di rumah sakit luas ini. Prilly mengambil tas kecilnya lalu menyampirkannya di bahu dan berjalan keluar dari mushola. Ia bersenandung kecil sambil mengiringi langkahnya menuju ruang ICU.
Ali memang masih berada disana. Lelaki itu masih menggunakan alat yang cukup banyak sehingga tidak memungkinkan dirinya untuk dirawat di kamar inap biasa. Prilly melihat ruang tunggu yang kosong. Kemana semua orang? Pasalnya, sebelum ia pamit untuk pergi ke mushola, ruang tunggu masih ramai. Keluarganya berkumpul disana.
Prilly menggeleng samar lalu menekan kenop pintu. Setelah memakai baju steril, Prilly melangkah menuju brangkar Ali. Bunyi dari mesin pendeteksi detak jantung itu terus terdengar setiap ia masuk ke dalam ruangan dingin ini. Ternyata, Ali tengah tidur.
Setelah melepaskan ciuman ringan di kening suaminya, Prilly memutuskan untuk berbaring di salah satu sofa yang ada disana. Kepalanya terasa pusing, entah kenapa. Prilly memijat pelan keningnya sambil memejamkan mata. Mungkin ini adalah efek dari kurang tidur.
Ali membuka kedua kelopak matanya saat mendengar suara bising dari arah pintu. Ternyata, Resi dan Rafa yang masuk. Kondisi Ali sudah mulai membaik sehingga beberapa orang bisa masuk sekaligus asalkan tidak mengganggu ketengan pasien. Ali menyapukan pandangannya lalu terhenti pada Prilly yang berbaring di sofa dengan tangan yang menempel pada kening, seperti gerakan memijat.
Ali merasa khawatir. Ada apa dengan perempuan itu? Apa dia merasa pusing? Dengan cepat Ali menatap Resi yang kini tengah duduk di samping brangkar miliknya."Ma,"
"Iya, sayang?"
"Itu, Prilly. Kok dia kayak pusing gitu? Bisa Mama tolong liatin nggak?" tanya Ali dengan nada khawatir yang tak bisa ia sembunyikan.
Resi mendadak menoleh lalu beranjak. Ia menghampiri menantunya itu. Resi menatap Prilly khawatir lalu berjongkok. Resi menurunkan tangan Prilly dari keningnya lalu ia beralih memijatnya."Kepalanya pusing, sayang? Badan kamu juga anget."
Prilly mengerjap-ngerjapkan matanya lalu menatap Resi. Ia menatap tak enak pada mertuanya itu."Eh, Mama nggak usah. Aku nggak apa-apa, kok. Cuma ngantuk."
"Nggak usah bohong, sayang. Mama tau, kepala kamu pusing 'kan? Badan kamu juga anget ini." sahut Resi yang tak dijawab oleh Prilly. Kepalanya memang benar-benar pusing, jadilah ia memejamkan matanya.
Resi berbalik, menatap Rafa."Raf, tolong beliin adek kamu obat di apotek. Badannya panas banget. Mama takut kenapa-kenapa."
Ali semakin khawatir. Dia berusaha bangkit namun alat-alat yang menempel pada tubuhnya membuatnya susah bergerak. Jadilah dia hanya memandang Prilly dengan wajah sendu. Bola mata Ali bergerak, mencari keberadaan Rafa sebelum lelaki itu menekan kenop pintu.
"Bang," panggilnya pelan.
Rafa membalikkan badan lalu tersenyum,"Iya, Li?"
"Tolong booking satu kamar untuk Prilly. Gue nggak mau dia kenapa-napa. Usahain kamarnya deket sama ruangan ini ya. Kalau alat-alat ini udah lepas, gue bisa kesana."
Rafa mengangguk lalu kembali melangkahkan kakinya menuju apotek setelah menutup pintu. Prilly mendengar ucapan suaminya namun kepalanya yang berdenyut sakit membuatnya tak sanggup untuk segera menanggapi dan menolak tentunya.
✈️✈️✈️
Sudah hari ketiga sejak Prilly dirawat juga di rumah sakit yang sama dengan Ali. Kondisinya sudah membaik, kata dokter ia hanya mengalami kelelahan. Prilly sudah bisa pulang besok—hal itu membuat Ali juga senang tentunya. Seperti saat ini, Ali duduk di kursi rodanya sambil menggenggam tangan Prilly—alat-alat di tubuhnya sudah dilepas sejak kemarin, hanya menyisakan selang infus saja.
"Kondisi kamu sudah baik, Prill. Kamu sudah bisa pulang. Tapi, tolong jaga kesehatan kamu. Kasian bayi kamu." jelas Angel, yang ternyata adalah teman kuliah Prilly—rupanya ia adalah seorang dokter ternama di Singapura.
Ali membeku. Ia tak bisa berkata-kata saat mendengar kata 'bayi kamu' yang diucapkan oleh Angel. Harapan itu kembali muncul dalam diri Ali. Dengan cepat ia menoleh untuk menatap Angel. Ia arahkan mata tajamnya yang menghunus ke arah Angel. Bukan tatapan tajam seperti elang melainkan tatapan berharap yang sangat kentara.
"Maksud dokter?" tanya Ali pelan.
Angel menarik senyum kembali."Iya, Li. Istri kamu lagi mengandung 'kan?"
Kini Ali sukses melebarkan matanya, ia langsung menatap Prilly, seakan meminta jawaban yang jelas. Lelaki itu sangat bingung.
Prilly mengulum senyum. Ia mempererat genggaman tangan mereka lalu mengangguk setelahnya."Iya, Mas. Bener yang dibilang sama Angel. Aku lagi hamil. Aku mengandung anak kita, Mas."
Ali terdiam. Ia masih tak percaya. Namun, setelahnya ia langsung berhambur ke dalam pelukan istrinya, melupakan jarum infus yang masih menusuk kulitnya. Tanpa sadar, lelaki itu meneteskan air matanya namun dengan cepat Prilly menyekanya dengan lembut.
"Sejak kapan, sayang?" tanya Ali yang sekarang sudah duduk kembali di kursi rodanya, dibantu oleh Rafa.
"Alhamdulillah udah dua bulan, Mas." Prilly mengusap punggung tangan Ali yang berada di dalam genggamannya."sebenarnya pas aku mau jemput Mas waktu itu, aku pengen kasih tau soal ini. Tapi Allah berkehendak lain. Dan, hari ini baru bisa aku kasih tau ke Mas Ali."
Ali mengembangkan senyumnya lalu mengecup punggung tangan Prilly berkali-kali."Makasih, sayang. Makasih banyak." Kini suasana haru menyelimuti kamar inap Prilly."aku janji, setelah aku sembuh total pasti aku akan selalu ada disamping kamu, menjaga anak kita. Aku janji, sayang."
"Iya, Mas." Prilly kini yang mengecup punggung tangan Ali."bulan depan aku mau check-up di Jakarta aja setelah pemulihan kamu. Kamu mau temenin aku?"
Ali tentunya mengangguk."Setelah kejadian ini, aku mutusin untuk istirahat dulu dari jadwal flight aku. Mungkin aku kembali flight dua bulan dari sekarang."
"Iya, Mas."
Ali tersenyum lalu mengusap sayang kepala istrinya. Ia beralih untuk mengusap lembut perut Prilly yang mulai membuncit. Wajar saja, kandungannya sudah memasuki tiga bulan. Walaupun tidak ada perubahan yang begitu signifikan. Setelah itu, ia menunduk untuk mencium perut Prilly.
"Maafin Daddy ya, Nak. Daddy nggak bisa menjadi orang yang pertama bahagia karena kehadiran kamu. Daddy harus lewatin masa-masa sulit sebelum akhirnya tau kehadiran kamu. Kamu beruntung banget Nak karena punya Mommy yang selalu jaga kamu." Prilly menitikkan air matanya haru.
Gimana?
Selamat malam minggu 💖semoga couple unyu ini bisa menemani malam minggu kalian :)
Keep Vote & Comment ya guys :)
Happy Reading.
With Love,
s.y.i
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Captain (COMPLETED)
FanfictionBagaimana jadinya jika seorang gadis manja bertemu dengan seorang pilot yang sangat penyayang namun menyimpan luka di masa lalu? Apakah gadis manja dan ceria ini dapat menyembuhkan luka pilot tampan dan penyayang itu? Ayo dibaca ceritanya untuk mene...