23. Ya

229 38 60
                                    

Ada banyak tempat wisata yang menyediakan pemandangan indah di kota ini, Gunung Tangkuban Parahu, Sari Ater, bahkan Curug Maribaya pun sudah mereka jelajahi. Keinginan yang besar membuat mereka bersemangat dan tidak mengenal lelah. Padahal masih banyak lagi tempat yang ingin mereka kunjungi, tapi matahari sudah bersembunyi menandakan jika hari sudah mulai malam.

Udara memang jadi lebih dingin kala malam tiba, tapi sekarang hal ini tidak berlaku untuk anak-anak yang sedang duduk di dekat perapian kayu bakar halaman belakang vila Jimmy. Niatnya membuat perapian itu adalah untuk bakar-bakaran, katanya biar keliatan kayak lagi kemping.

"Harusnya ke Ciater tuh malem-malem, enak. Nggak tengah siang ngebelentrang panas kayak tadi," cetus Jimmy kala tangannya sibuk membolak-balikkan jagung yang sedang dipanggangnya.

"Ya udah, kan udah," balas Yoga.

Hoshi sudah selesai mempersiapkan ayam mentah dan hendak dibakarnya. "Eh Bukit Moko cakep katanya."

"Lo pergi, gue nggak. Capek!" keluh Yoga.

"Payah lo Ga."

Jagung yang sudah mulai menghitam itu diangkat dan disodorkan pada Imma oleh Jimmy. "Mau nggak?" tawarnya.

Imma tidak menjawab, ia hanya melirik sinis pada Jimmy lalu berdiri dan berpindah tempat guna untuk menghindari Jimmy. Iya, mereka berdua sedang marahan gara-gara Jimmy yang diam-diam membawa Jean menemui Kakek dan Neneknya. Pasalnya Imma juga ingin bertemu dengan Kakek Nenek Jean, tapi Jimmy malah tidak mengajaknya.

"Marahan terus, nanti cinta," celetuk Hoshi.

"Nggak!" bentak Jimmy dan Imma bersamaan, hal tersebut berhasil membuat semua orang yang berada di sana tertawa karena tingkah laku mereka.

Tapi tidak berlaku untuk Jean, yang kini tengah duduk di bebatuan dekat kolam ikan. Sambil memetik daun pada tanaman liar yang tumbuh, ia termenung menatap dua ikan emas besar yang sedang saling berkejaran.

Seharian ini ia memang bermain dalam kebahagiaan dan senyuman lebar di bibirnya, tapi siapa yang tau isi hati sebenarnya? Jean belum bisa mengenyahkan pikirannya perihal makam kedua orang tuanya yang tadi ia kunjungi, ditambah dengan kenangan lama semasa kecil bersama kedua orang tuanya yang terus memenuhi ruang rindu.

Tadi Nenek sempat memberikan Jean sebuah album foto tebal berisi foto dirinya semasa kecil bersama kedua orang tuanya, awalnya Jean menolak tapi Neneknya menegaskan bahwa Jean harus menyimpannya sebagai kenangan, bukan untuk ditangisi.

"Heh Jeno!"

Perlahan tapi pasti, Jean menoleh ke sumber suara dan menemukan Taevy sedang berkacak pinggang di sampingnya. Jean pun berdiri dan menatap Taevy bingung.

"Apa?"

"Dilarang ngelamun, buang-buang waktu ."

"Yang ngelamun kan aku, bukan kamu. Kenapa kamu yang repot?"

Taevy memutar matanya malas lalu menyodorkan sebuah sosis yang sudah dibakar. "Ambil."

"Aku nggak lapar."

"Ya udah."

Sesingkat itu dan Taevy langsung menyantap sosis bakar tanpa menawari Jean untuk kedua kalinya. Taevy memang sesimpel itu, jika ya maka adalah ya dan jika tidak maka adalah tidak. Bingung? Sama.

Saat semuanya sedang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, Julian datang dari arah dalam vila dengan segelas susu berjalan menghampiri Jean.

"Darimana lo?" tanya Nando.

Baik Taevy maupun Jean sama-sama menoleh ke belakang, bahkan saat Julian berhenti tepat di samping Jean, kedua iris Taevy menatap tajam padanya. Sementara yang ditatap berlagak tidak peduli dan menyodorkan gelas dalam genggamannya, bahkan ia mengabaikan pertanyan seniornya.

BLACK STARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang