40. Tear

212 33 28
                                    

Di sebuah rumah yang lebih terlihat seperti studio apartemen ini baru kembali terlihat ramai saat ke tujuh anggota datang dan berkumpul bersama, hal ini sudah langka terjadi dikarenakan mereka sibuk dengan urusannya masing-masing. Sekarang setelah ujian kenaikan kelas berakhir mereka merencanakan untuk berkumpul dan membicarakan tentang tempat ini yang rencananya sudah tidak akan disewa lagi.

Alasannya, sudah beberapa bulan saja tempat ini kosong dan hanya didatangi beberapa kali oleh beberapa dari mereka. Belum lagi kesibukan mereka dengan tanggung jawabnya sendiri juga sulit dikesampingkan.

"Gue udah bilang sama Aldi, katanya adiknya mau ngisi tempat ini. Terus gimana barang-barangnya?" tanya Jimmy, ia menyaut kotak rokok di hadapannya dan mengeluarkannya satu.

"Jual aja sama mereka," jawab Jeko yang sedang mengunyah keripik.

Yoga menurunkan gelas kopi yang baru diseruputnya. "Emang mereka mampu beli?"

"Adiknya Bang Aldi, gila ya mampu lah," ujar Jimmy.

Yoga berdecih. "Anak manja pasti."

"Manja pala lo," Jimmy sudah mulai menghisap rokoknya lalu menghembuskan asapnya di udara. "Tawuran mulu kerjaannya juga."

"Alah Tata aja hobinya adu jotos tapi manjanya minta disleding."

"Gue lagi diem loh, Ga."

Semuanya terkekeh pelan.

"Ya udah barang punya lo masing-masing kalau mau di bawa ya bawa, yang nggak mau di bawa ya tinggal aja disini," saran Nando. "Tv sama kulkas gue tinggal aja, males bawa."

"Sofa gue tinggal, kalau gue bawa juga kemana? Nggak punya rumah gue," celetuk Jeko.

"Lo masih tinggal di restoran?" tanya Hoshi.

Ingat jika Alana memiliki restoran? Ya Alana, Julian, dan Jeko tinggal disana. Nyaman tidak nyaman mereka nikmati karena tidak ada pilihan lain.

Jeko mengangguk, menaruh keripik lalu menegak minuman bersoda. "Tapi minggu depan gue pindah."

Sontak saja semuanya langsung menatap Jeko penuh tanya. "Kemana? Kenapa baru bilang?"

Mata Jeko mendelikkan mereka satu persatu, lalu terakhir ia menoleh ke samping dimana Julian duduk. "Gue kira Kakak udah kasih tau."

"Nggak ada yang ngomong, kenapa pindah?" tanya Jimmy serius.

"Mama disuruh pulang ke Oma Bandung, ada rumah kosong sayang kalau nggak di tempatin," jelas Jeko.

Mendengar kata Bandung membuat hati Taevy mencelos, ukiran wajah gadisnya langsung terukir jelas dalam ingatannya. Matanya yang bulat, senyumnya yang seperti bocah, hidungnya yang kecil dan badannya yang hanya sebatas dagunya. Aroma tubuh serta wangi rambut dari gadisnya itu masih bisa ia rasakan dengan jelas. Ekspresi kesal dapat ia bayangkan tepat di depan wajah.

"Nanti gue cari," ucap Julian yang sedaritadi diam, ia melihat perubahan ekspresi Taevy dan ia tahu betul apa yang dirasakan pemuda itu.

Kenapa harus dicari? Karena gadis itu hilang.

Jimmy memang tahu soal kepindahan gadis itu, bahkan Jimmy yang mengantarkannya sendiri menuju Bandung. Tapi Jimmy tidak tahu jika gadis itu pindah dari rumah sebelumnya, belum lagi tidak ada nomor yang bisa dihubungi. Sosial media tidak pernah aktif, seakan gadis itu benar-benar ingin memutus hubungan dengan mereka semua. Tidak hanya dengan dirinya, bahkan dengan teman terdekatnya pun; Imma, tidak dapat menghubungi Jean sama sekali. Gadis itu hilang, menghindar, dan bersembunyi.

Sepulangnya Jimmy ke Jakarta setelah mengantar Jean, ia langsung didatangi oleh Taevy dan nyaris diamuk karena tidak memberitahu dirinya soal kepindahan gadisnya. Tapi Jimmy bersikap tenang dan berhati-hati, menjelaskan jika semuanya permintaan Jean. Rencananya pun Jimmy akan membawa Taevy kesana nanti seminggu setelahnya. Namun nyatanya saat mereka sampai di sana, rumah itu kosong dan tetangga tidak ada yang tahu kemana penghuni rumah tersebut pindah.

BLACK STARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang