29. Marahan

211 31 53
                                    

Menatap langit-langit kamar dalam diam, berkedip sesekali menandakan ia masih hidup. Dengan ritme nafas yang teratur, suhu udara kamar yang stabil membuatnya enggan untuk enyah dari tempat nyamannya tersebut.

Selesai mandi ia tidak memiliki tujuan lain selain meringkuk ke kanan sambil memeluk boneka berbentuk guling berwarna merah muda miliknya, membenamkan wajahnya disana dengan pikiran penuh tentang kejadian semalam. Menyakitkan, melihat dua orang yang mampir dikehidupannya meluapkan emosi dengan saling menyakiti satu sama lain.

Kepalanya pusing, matanya bengkak seperti ada yang mengganjal. Ah ia tidak siap untuk hari ini, dirinya jelas harus bekerja dan itu berarti harus bertemu dengan manusia yang sebenarnya ingin dihindarinya dulu.

Pintu kamarnya terbuka dan muncul sosok Melly, raut wajahnya terlihat khawatir. Mencemaskan keponakannya yang pulang jam 2 malam dengan keadaan tidak baik; mata merah membengkak, hidung mampet serta ekspresi yang begitu menyedihkan.

"Naya ada Jimmy," ujarnya.

Jean tidak merespon, ia tidak terkejut ketika mendengar teman masa kecilnya itu sudah kemari pagi-pagi sekali. Pasalnya tadi malam saja ia berniat untuk menginap, tapi Melly melarang dan menyuruhnya untuk pulang saja. Ia terlihat begitu mengkhawatirkan keadaan gadis itu.

"Masuk aja, pintunya dibuka."

"Iya Tante, makasih."

Terdengar suara langkah kaki mendekat, Jean masih belum mau menyambut temannya.

"Nay," panggil Jimmy lembut, duduk di tepi kasur lalu menepuk bahu Jean pelan.

Jean menghela nafas, memutar tubuh lalu bangun dan duduk. Jimmy menyerahkan es batu yang dibungkus plastik, Melly yang memberikannya tadi dan menyuruh Jimmy untuk memberikannya pada Jean.

Jean menerimanya, menempelkannya pada mata bagian kanan. "Ngapain kesini?"

"Mau liat kamu."

Memperhatikan Jimmy yang setelan pakaiannya masih sama seperti kemarin, itu berarti menandakan bahwa lelaki itu belum pulang ke rumah.

"Kamu kerja?" tanyanya.

Jean menggeleng, memindahkan es batunya ke mata bagian kiri dan sedikit menekannya. "Nggak tahu."

"Kalau kerja, aku antar. Sekalian mau ke rumah dia."

"Kamu duluan aja, aku pergi sendiri nanti."

"Nggak mau."

Memindahkan es batu tersebut dan sedikit diusapkan, menghela nafas sambil menatap ekspresi penuh memohon dari Jimmy.

Akhirnya Jean mengalah, ia pun berangkat ke rumah Taevy diantar oleh Jimmy. Katanya lelaki itu memang tidak pulang, setelah mengantar Jean pulang jam dua mala itu dirinya kembali ke rumah Nando dan menghabiskan waktu semalaman disana.

Sampai di depan rumah besar dan terbilang mewah itu Jimmy berhenti, membuka helm lalu turun dari motor ketika Jean sudah turun duluan.

"Senyum atuh biar cantik." Jimmy menatap Jean dan memamerkan senyuman manisnya sampai membuat matanya nyaris terpejam. Iya Jimmy memiliki smile eyes, dan itu cukup untuk membuatnya terlihat menarik dimata para gadis.

Disuruh senyum, Jean malah hela nafas panjang.

"Omongin baik-baik, jangan ngegas," saran Jimmy. Mengingat tadi di motor Jimmy terus mengoceh soal perbaiki hubungan Jean dengan Taevy karena hal tersebut akan memperbaiki juga hubungan Taevy dengan Julian. Jimmy yang dulu mendukung Jean dengan Julian kini berbalik arah dan menyuruh Jean untuk jaga jarak dengan Julian kala lelaki itu sudah tahu jika Taevy dan Jean benar-benar berpacaran.

BLACK STARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang