27. Pacar

273 33 87
                                    

Kita adalah rasa yang tepat diwaktu yang salah.

Mungkin potongan lirik lagu tersebut pas sekali untuk keadaan seorang gadis yang tengah duduk di depan meja belajarnya, menatap sebuah kertas yang tergeletak di atas sebuah buku. Menghela nafas, tangan bergerak memijiti pangkal hidung. Bergerak mendaratkan bokong pada bangku depan meja tersebut. Meraih kertas dan kembali membaca satu kalimat yang tertera di sana.


You're my zing, Jean.


Menggigit bibir bawah seraya meletakkan kembali kertas tersebut, menatap beberapa barang lainnya yang tergeletak bersebelahan disana. Ada pemantik berwarna putih, hoodie berwarna hitam yang belum sempat dikembalikan dengan sebuah ponsel yang akhir-akhir ini dipakai oleh dirinya. Tiga barang dari tiga orang yang berbeda.

Jean harus mengakhiri semuanya, maksudnya gadis itu harus segera bisa menetapkan hatinya pada satu pilihan. Ia tidak bisa berlama-lama membiarkan hatinya terus memilih antara yang nyata dan tidak nyata, antara dipilih atau memilih.

Merunduk dan meraih sebuah goodie bag kosong yang berada di kolong meja belajarnya, memasukkan hoodie tersebut ke dalam sana dan ia harus mengembalikan pada pemiliknya. Walaupun sebenarnya pemiliknya pernah mengatakan jika Jean harus menyimpannya agar terus mengingatnya, gadis itu tidak mau dan ingin mengembalikannya saja.

Bukan ini yang ku mau...

Lalu tuk apa kau datang

Meletakkan goodie bag tersebut, matanya bergulir memperhatikan sebuah pemantik berwarna putih. Memejamkan matanya dan merasakan betapa menusuknya lirik lagu ke dalam pendengarannya saat itu juga.

Rindu tak bisa diatur

Kita tak pernah mengerti

Kau dan aku menyakitkan.

Bukannya gadis itu tidak mau memperjuangkan perasaannya yang jatuh pada sosok itu lebih dulu, tapi ia memilih untuk lebih menghargai hal lain yang lebih pantas untuk dicoba atau diperjuangkan.

Lagu sialan!

Jean mematikan speaker portable di hadapannya, ia tidak mau mendengarkan lagu itu lebih lama lagi. Melempar pemantik putih itu ke dalam goodie bag tadi, ia akan mengembalikan barang-barang tersebut kepada pemiliknya segera.

Terakhir ia menatap jajaran buku di rak yang tertata rapih, menggeser bangku yang didudukinya meraih sebuah buku berjudul Black Magic dan membuka halaman perhalamannya dengan cepat. Ia berpikir bahwa dirinya harus mengembalikan juga buku tersebut, namun gerakan jarinya terhenti di halaman kosong paling belakang. Keningnya menyergit bingung saat ia menemukan sebuah tulisan tangan yang sama seperti pada kertas di atas meja, ia tidak pernah membuka halaman itu sebelumnya dan baru mengetahuinya saat ini.

Kalau aku jadi Juna, aku mau kamu jadi Vanila-ku.

Jean memejamkan matanya yang terasa sedikit perih, menutupi wajahnya dengan kedua tangan lalu mengusapnya pelan. Sejujurnya hatinya berat, ia baru benar-benar memahami jika ternyata perasaannya tidak bertepuk sebelah tangan. Tapi bukankah semuanya terlambat? Di saat ada sebuah tangan yang ingin menepuk bersama, ada tangan lain yang sudah meraihnya dan membawanya pergi. Waktunya begitu singkat, dan entah mengapa semuanya terjadi begitu saja.

Menutup buku tersebut dan menyimpannya kembali, tidak apa kan jika Jean menyimpannya? Ya tidak apa, lagipula itu hanya sebuah buku novel remaja.

Menepuk-nepuk pipi lalu menangkupnya, matanya kembali jatuh pada kertas yang ditemukan dalam tas kecil saat sekembalinya dari base beberapa hari lalu. Hal tersebut membuat ingatannya berlari ke hari dimana sebelum ia mendapatkan kertas tersebut.

BLACK STARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang