7-2-2018 s/d 28-7-2018📝
Joy, gadis yang benar-benar polos kehilangan segalanya saat ingin ke jenjang perkuliahan. Ia harus bekerja. Dan menjadi pelayan seorang namja tampan menjadi pilihannya.
Daniel, lahir dari keluarga berada dan memiliki harta d...
Dari banyaknya hari-hari yang sudah dilewatinya, entah kenapa hari inilah yang paling tidak disukainya. Hari di mana Joy tidak lagi bekerja di bawah pengawasannya. Hari di mana Joy tidak lagi tinggal di rumahnya.
"Joy, kau yakin tetap ingin di rumah kos?"
Joy mengangguk sambil memakan nasi goreng buatannya.
Daniel tidak putus asa. Dia tetap bertanya. "Kenapa tidak di apartemenku saja? Aku memiliki apartemen di Busan." Ucapnya dengan nada memelas, berharap Joy mau merubah pikirannya.
Joy pun menatap Daniel dengan gemas. "Ya ampun Tuan Kang, kau pikir aku ini anak kecil apa? Aku bisa mengurusnya tahu." Perkataan Joy membuat Daniel hanya bisa menghela napas dan tersenyum paksa.
Baru saja dia berniat mendekati Joy.
"Baiklah, ayo, aku antar." Ucap Daniel seraya berjalan menyambar kunci mobil yang tergantung di dinding.
"Eh tidak perlu. Aku bersama Jihoon," ucap Joy langsung, tanpa melihat perubahan raut wajah Daniel.
"Jihoon? Tapi-"
Tinn.. Tinn..
"Nah, itu dia! Kalau begitu, aku pergi dulu, ya, Tuan Kang Daniel. Sebelumnya, terima kasih atas bantuanmu beberapa bulan yang lalu dengan mempekerjakanku menjadi salah satu pelayan di rumah ini, kemudian mendapatkan uang dan bisa melanjutkan pendidikan. Intinya terima kasih buat semuanya. Nanti, kalau ada waktu senggang aku pasti main ke sini." Joy menjeda kalimatnya, menatap Daniel yang terdiam.
"Boleh, kan?"
"I-ya. Tapi-"
Terdengar langkah kaki yang semakin mendekat membuat keduanya mengalihkan pandangan mereka.
"Joy, apa semua sudah- owhh lihat. Ada Kang Daniel di sini. Annyeong."
Mendengar nada menjijikkan itu seketika membuat Daniel muak. Ia sangat membenci Park Jihoon saat ini.
"Ayo, Jihoon. Aku sudah selesai. Kami berangkat dulu, ya, Daniel." Ucap Joy dengan santai tanpa menyadari suasana yang mulai keruh.
"Tunggu." Kali ini, Daniel membuka suara.
"Joy, ada yang ingin aku sampaikan padamu. Dan kau," Daniel menunjuk Jihoon dengan tatapan dinginnya.
"Tolong keluar dari rumah ini. Kau bisa menunggu Joy di luar."
Joy memandang bingung ke arah Daniel. "Tapi-"
"Sekarang."
Perkataan menusuk Daniel sama sekali tak membuat Jihoon takut, ia justru hanya mengangkat bahunya.
"Okay. Joy aku tunggu di luar, ya," katanya yang diangguki pelan oleh Joy.
Tanpa membuang waktu, Daniel langsung menarik Joy dengan terburu ke arah kamarnya, kemudian membanting pintu. Dengan cepat dia mengurung Joy dengan kedua tangan dan mencium bibirnya.
Joy tentu saja berontak, nyatanya ciuman ini benar-benar kasar. Joy bahkan tidak dibiarkan untuk berucap sepatah katapun. Saat merasa nafas keduanya habis, barulah Daniel menyudahinya lalu menatap tajam Joy.
Dia tersenyum sinis. "Jadi ini, alasan kenapa kau tak mau tinggal di apartemen mu. Bahkan aku tak bisa mengantarmu. Alasannya adalah karna Park Jihoon?!"
Joy menggeleng dengan air mata yang perlahan meleleh. Dia tidak tahan akan bentakan. "Tidak Daniel, aku salah paham."
"Lalu?"
"Aku memang sudah bertukar pesan dengannya sejak seminggu lalu tentang hari ini. Makanya aku bilang, kau tidak perlu lagi mengantarku. Soal rumah kos, juga. Aku sudah mendapatkannya dengan bantuan Jihoon dari kemarin-kemarin."
Daniel menatap tidak percaya pada wanita di depannya ini. "Ja-Jadi, kalian bermain di belakangku?" Nafasnya bahkan tercekat. Sejauh apa hubungan mereka berdua sebenarnya yang tidak Daniel ketahui?
Tangan Daniel mencengkram bahu Joy sedikit kencang, hingga Joy berkali-kali meringis.
"Kenapa kau tidak memberitahuku Joy?! Kenapa!!"
Dengan air mata yang membekas di wajah. Joy menghempas kasar tangan Daniel dan balik menatap tajam.
"Jika pun aku memberitahu, lantas apa?! Aku tahu kau memang memendam rasa tak suka dengannya, untuk itu aku menyembunyikannya. Saat ini saja, kau sudah memperlihatkan ekspresimu ketika mengetahui itu. Bagaimana jika aku beritahu kemarin-kemarin?" Joy menghirup udah berkali-kali, sebelum kembali melanjutkan,
"Aku rasa, aku malah akan trauma."
Perlahan Daniel melunakkan tatapannya. "Okay, aku tau. Aku memang salah, aku kasar padamu. Tapi, aku ingin minta satu hal darimu," ia melihat wajah Joy sejenak. "Tolong, jangan pernah jatuh pada Jihoon. Dia tidak baik seperti yang kau lihat. Aku tahu dia. Saat ini, dia sedang memakai topengnya. Aku tidak mau aku sakit hati." Jelasnya.
Bagaimana pun, Daniel dan Jihoon dulunya merupakan kawan karib. Bahkan pantas disebut saudara karena saking dekatnya. Namun, karena adanya satu kesalahpahaman membuat perselisihan antar keduanya tercipta. Sebenarnya, sudah sejak lama Daniel ingin mengakhiri perang dingin ini, ia tahu pasti Jihoon juga sama, tapi, ego mengalahkan nurani mereka berdua.
Bahkan, sampai saat ini Daniel sama sekali belum menemukan inti dari perselisihan masa lalu mereka.
Joy kembali memutar otaknya antara mengiyakan atau menepis perkataan Daniel. Beberapa sekon berlalu, Joy mengangguk perlahan. "Iya. Akan aku coba." Ujarnya pelan, membuat Daniel tersenyum simpul. Dia memeluk Joy erat, kemudian melepasnya.
"Baiklah, terima kasih. Sekarang kau boleh langsung pergi, aku di kamar."
Tanpa kata, Joy berbalik dan membuka pintu. Meninggalkan Daniel sendirian, dalam jiwa yang mendung.
"Huh.."
Lagi-lagi, rasa sepi itu kembali dia rasakan. Tapi tak apa, setidaknya Joy masih akan kembali ke sini.
Daniel pun mengambil kotak berisi cincin itu, meremasnya, dan menatap lama.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Daniel pun beranjak ke jendela, dan menatap Park Jihoon yang sedang memasukkan koper Joy hingga mobil itu melesat pergi.
Tersisa Daniel dan kesendiriannya. Dia menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur dengan posisi telentang menatap langit-langit kamar.
"Entahlah, mungkin.. aku menyerah, lagi." Ucapnya sebelum benar-benar menutup mata.