Bingung.
Aku bingung harus mengatakan apa.
Bahkan perkataannya mengundang peluhku berjatuhan di tengah-tengah terpaan angin. Tanganku masih sama. Melingkari pinggangnya. Dan kini ia tengah bersenandung riang.Aku bingung.
Aku hanya diam dalam waktu yang lama. Mendengarkan mulutnya bersenandung merdu. Mengundang rasa nyaman dari balik celah kecil hati yang sebelumnya tak mau mendatangiku.
Suara sepeda motor, senandungnya dan terpaan angin yang kami terjang seakan berlagu sukacita. Di tengah kebingungan itu, aku diam. Menikmati tiap rasa nyaman yang hadir perlahan, tiba-tiba dan tak terduga sebelumnya.
Namun kewarasannku justru menggeluti rasa nyaman ini. Sebagian dari diriku memaki. Mengatai diri sendiri. Bagaimana bisa aku selancang ini menikmati rasa nyaman dari seseorang yang belum ku tahu jati diri.
Team iya dan team tidak dalam tubuhku terus bergelut. Merasuk ke seluruh bagian tubuhku. Membuatku merasa sakit, sebab tiba-tiba sesuatu yang aneh hadir semacam SYUT.
Mirip dengan perasaan saat tugas yang sudah di kerjakan sampai begadang justrj ketinggalan di rumah. Dan ternyata tugas itu di bawa oleh temanmu yang dengan lancang membawanya tanpa izinmu.
Rasanya marah, perih, sedikit sakit, namun lega.Apa ini yang namanya samudera rahasia manusia? Perasaan yang tak dapat terkira dan maknanya sulit di terka.
Aku terus tenggelam dalam pikiranku, bersamaan dengan pacu jantungnya yang diibaratkan sebuah motor kecepatannya 120km/jam. Aku tak mampu mengendalikannya.
Sesaat aku menyadari sesuatu yang aneh baru saja terjadi. Terpaan angin yang beberapa menit membelai tubuhku lenyap di gantikan dengan hembus pelan. Suara motor yang menjadi soundtrack imajinasi hilang, dan senandungnya juga berhenti.
Tunggu.
Ah, ternyata sudah sampai di rumahmu. Aku tidak menyadarinya.
"Udah puas pelukin akunya?" Katanya sesaat setelah aku melepas tangannku yang melingkari, bergegas turun dari motor produk Kawasaki miliknya.
"Eh, maaf. Makasih ya udah nganter aku." Ucapku sambil sibuk berusaha melepas helm.
Aku melihatnya tersenyum kecil melihatku kesulitan melepas helm.
Tangan kanannya menarik bahuku mendekat. Wajah ku dengannya jadi berharap. Aku harus menahan nafas dalam-dalam untuk jarak sedekat ini, apalagi kaca helm ini ku biarkan terbuka sejak tadi.Aku tidak mau dia memergoki kegugupanku seperti kemarin di UKS. Lagipula manusia macam apa yang bisa mendengarkan detak jantung orang lain tanpa mendekat?
Naasnya. Mataku yang nekat menatapnya justru berasa terjerat dan terperangkap di sana. Aku merasa wajahku memanas.
Aku mengalihkan bola mataku ke arah samping."Sudah bisa dilepas helmnya?" Tanyaku dengan bibir gemetar. Gugup.
"Sejak tadi sudah bisa kamu lepas. Cuman kayaknya kamu lebih suka pakek helm ini sambil trus mandangin aku." Ujarnya dilanjutkan dengan tawa meledeknya.
Aku malu. Aku melepas helm itu dengan cepat. Mengerutkan seluruh otot-otot di wajahku. Menatapnnya dengan tatapan membunuh.
Dia justru mengangkat kedua alisnya, sembari tersenyum mempesona.
Ah, terlalu berat cobaan yang Engkau berikan padaku Tuhan? Mengapa kau ciptakan manusia sesempurna dia.
"Jangan kesel gitu dong mukanya. Makin cantik tauk. Kalau jantungku beneran loncat keluar gimana? Salah kamu pokoknya ya?" Sekali lagi ia mengucapkan kata gompalannya yang langsung manjur melelehkan tembok raksasa emosi dalam diriku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anonymous Boy
FanfictionDengan tanpa alasan, banyak hal terjadi di luar dugaan. Entah itu kematian atau kelahiran baru. Sejatinya semua manusia ditakdirkan untuk terus bertemu dengan orang-orang baru selama alur waktu hidupnya, menggantikan orang-orang yang pergi meninggal...