7

165 39 6
                                    

Karena cinta bukan sekadar perkara rasa. Melainkan juga seberapa kuatnya kita menjaganya agar tetap  ada.
~Claretta~








               Masih terasa sesak. Tangisku belum sepenuhnya mereda. Isakku juga masih terdengar, meskipun lirih. Dia tetap membiarkanku bersandar di dadanya. Mengelus-elus rambut seraya menepuk-nepuk kecil pundakku.

Jika di reka ulang pada kejadian sebelumnya, ini peristiwa Awkward. Seharusnya aku lah yang menenangkannya, bertanya apa masalahnya, dan menjadi pendengar yang baik untuknya.

Namun yang ku lakukan sebaliknya. Aku justru menangis. Meluapkan kefrustasian yang tiba-tiba datang tanpa ku duga. Merasa begitu amat sakit melihat tatapan dinginnya. Membunuh, perlahan.

Aku berangsur tenang. Tak lagi ada air mata. Meski beberapa bulir masih sempat menetes beberapa detik lalu. Tinggal isak tangis dan mata merah yang tersisa. Aku meloloskan diri dari sandarannya.

Menatap matanya nanar. Tanpa peduli seperti apa wajahku saat menatapnya. Yang jelas yang ingin ku lakukan hanya menatapnya.

Ia tersenyum. Tak selebar biasanya, namun cukup menenangkanku. Tangannya mengudara mengelus-elus rambutku. Aku balas tersenyum.

Aneh. Saat ini aku merasa sedang berbicara lewat tatapan dan batin. Tidak ada satupun yang memulai pembicaraan. Terlalu nyaman berada dalam kediaman apalagi saat kediaman sedang berbicara banyak hal tentangku dengannya.

Aku merasa cukup seperti ini. Tenang, nyaman dan begitu hangat.

Seseorang yang baru ku temui. Yang hadir dengan lincahnya mencuri ketertarikanku. Membawa kakiku berjalan kearahnya untuk tau lebih banyak tentangnya. Sampai tanpa sadar hatiku lemah olehnya. Perasaan yang selama ini berusaha ku tepis kini tunduk padanya.

"Terimakasih," ucapku sembari mengambil tangannya untuk mengelus-elus pipiku.

"Untuk apa?"

"Kehadiranmu."

"Aku tidak melakukan apapun."

"Tentang ketenangan, rasa aman dan hangat yang kamu ciptakan."

"Maaf."

Aku tak mengerti. Ucapannya maafnya bagai sebuah pisau, menyayat hatiku. Apa ini sebuah penolakan? Atau semacamnya?.

"Ada apa denganmu?" Tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"Mengapa kamu menangis?"

Aku mengambil nafas dalam mendengar mulutnya melontarkan pertanyaan balik. Sedikit sebal, pertanyaanku belum terjawab. Tapi ya sudahlah.

"Melihatmu seperti tadi membuatku sesak. Aku benci, aku tidak suka melihatmu seperti itu," ucapku terdengar seperti anak kecil yang cemburu mamanya menggendong anak kecil lain.

Aku melihatnya tertawa kecil.
"Maaf. Aku lupa kalau kamu baru disini. Bagi semua siswa sikapku seperti tadi sudah biasa. Bukankah kamu sendiri sudah mendengar aku orang yang kasar?"

"Bagaimana aku percaya pada omongan itu jika sikapmu begitu manis padaku?" Aku benar-benar ingin mengeluarkan semua kekesalanku padanya. Sebab kini posisinya berbalik, seolah aku yang mengejar-ngejarnya.

Anonymous BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang