Bagian 3: Penampakan

5.3K 833 113
                                    

Sudah dua bulan aku tak mengunjungi ruang klub Jurik. Aku pernah mengunjunginya sekali ketika aku menandatangani daftar hadir. Meski begitu, ini adalah pertama kalinya aku benar-benar mengamati seluk beluk ruangan ini.

Ruangannya sempit. Luasnya hanya sekitar empat kali luas kuburan. Cat dindingnya banyak yang terkelupas. Sebagian ditambal dengan poster bergambar anime dan boyband Korea. Ada pula beberapa foto siswa yang dipajang untuk membuktikan bahwa mereka eksis. Tak ada kursi. Yang ada hanya sebuah meja dan papan tulis kecil. Rak buku isinya bukan buku, melainkan stoples berisi kue nastar, astor, dan rengginang sisa lebaran bulan lalu. Di sudut-sudut ruangan terdapat beberapa kardus air mineral berisi buku catatan, buku pelajaran, novel, tumpukan koran, kaset VCD, DVD, dan video bokep. Aku penasaran siapa pemilik barang yang terakhir kusebutkan.

Pada salah satu sisi ruangan, ada dua orang berseragam pramuka duduk beralaskan koran. Orang pertama brewoknya mirip Grandong. Orang kedua berambut panjang dan keriting mirip Mak Lampir. Orang pertama tampak lihai bermain game di laptopnya, tapi penampilannya seperti manusia gua yang tak tahu tentang teknologi pencukur jenggot. Saat aku kembali memandang orang kedua, matanya melotot. Aku pun cepat-cepat berpaling.

"Apa ada yang menarik perhatianmu?" tanya Roy tiba-tiba.

"Mungkin."

Mungkin rumor konyol tentang klub Jurik tidak sepenuhnya salah. Aku baru saja melihat dua penampakan di sini.

"Siang, Pak."

Aku menoleh ke asal suara. Ada sepasang cowok dan cewek di sisi ruangan lainnya. Dibandingkan dengan dua orang tadi, mereka tampak normal. Yang cowok berambut cepak, bermuka polos tanpa brewok dan alis. Yang cewek kurus, langsing, dan giginya tampak berada dalam posisi offside. Raut wajah mereka tampak senang menyambut kedatangan Roy. Atau lebih tepatnya, mereka tampak lega. Bersama dengan dua makhluk dengan tekanan roh yang tinggi pasti sulit bagi mereka.

"Cuma segini? Mana yang lain?" tanya Roy.

"Tadi Mahesa ke sini, cuma ngambil perlengkapan mading, terus keluar," jawab cowok berambut cepak.

"Mungkin kita mulai saja sekarang. Saya tak punya banyak waktu," kata Roy sambil mengatur posisi di depan para siswa. Ia melirik ke arahku sebentar, lalu memandang ke depan. "Omong-omong, kita kedatangan anggota baru. Sebenarnya dia sudah bergabung sejak Agustus, tapi tak pernah berangkat. Mungkin di antara kalian ada yang kenal dia. Katanya dia tertarik untuk bergabung dengan divisi pemasaran."

"Hei, aku tak pernah bilang—"

Roy menyikutku sembari tersenyum. "Grey, ayo perkenalkan dirimu."

Semua orang menatapku kecuali si Grandong, yang masih sibuk bermain laptop. Sialan. Aku tak bisa mengelak kalau sudah begini.

"Grey Ismaya, kelas X-2." Aku melirik Roy. "Aku boleh duduk sekarang?"

"Duduklah di mana pun kau mau."

Aku mengambil beberapa lembar kertas koran dan duduk bersila di atasnya.

Roy lalu memberi ceramah pada kami berlima. Ia mengatakan banyak hal yang tak kuketahui, jadi aku hanya merangkum yang kuingat. Katanya berdasarkan rapat guru, dana klub Jurnalistik terpaksa dihentikan. Rupanya klub ini sudah beberapa bulan tak menerbitkan majalah. Selain itu, dana untuk klub selama beberapa bulan terakhir juga tak jelas ke mana perginya. Hal itu membuat dewan guru dan kepala sekolah menilai bahwa klub ini tak layak dipertahankan.

"Bulan ini adalah kesempatan terakhir kalian. Kalau sampai akhir bulan majalah tidak diterbitkan, maka klub ini akan dibubarkan. Masalah dana, kalian pikirkan sendiri bagaimana solusinya. Oh, dan satu lagi, kalian harus menerbitkan minimal dua ratus majalah dan harus terjual semua." Roy melirikku dan tersenyum. "Itu kalau kalian masih mau mempertahankan klub ini."

Aku menelan ludah. Pesan Roy tersirat namun jelas. Aku harus memastikan penerbitan majalah klub ini berhasil jika ingin naik kelas. Aku tak tahu dua ratus itu banyak atau sedikit untuk ukuran majalah sekolah, tapi dilihat dari sisi manapun, itu bukan perkara mudah.

"Baiklah, mungkin itu saja. Kalian lanjutkan sendiri ya, saya ada urusan," lanjut Roy. "Dan jangan lupa beritahu teman kalian yang lain."

Usai berkata begitu, Roy melenggang pergi.

Tak lama kemudian, sang titisan Mak Lampir pun turut keluar ruangan.

Si cowok Grandong masih belum beranjak dari posisinya. Di layar laptopnya kulihat dua tokoh cewek anime. Tampaknya ia tengah bermain game simulasi kencan.

Kenapa mereka bersikap acuh tak acuh seolah-olah ucapan Roy bukan urusan mereka?

"Grey?" sapa cowok berambut cepak. "Katanya kamu pengen masuk ke divisi pemasaran ya?"

"Eh, tidak. Aku—"

"Kami juga dari divisi pemasaran," potong cewek di sebelah cowok tadi. Kemudian mereka berdua menjabat tanganku dan memperkenalkan diri. Yang cowok namanya Salahuddin, sedangkan yang cewek namanya Wandirah. Agar lebih praktis, kusebut mereka Mas Salah dan Mbak Wan.

Mbak Wan bercerita panjang lebar. Ia bilang ia senang dengan kedatangan anggota baru dan omong kosong tak penting lainnya. Dari ceritanya aku jadi tahu. Mas Salah adalah ketua divisi pemasaran klub, sedangkan Mbak Wan adalah wakilnya. Divisi pemasaran bertugas merencanakan penerbitan, pemasaran, dan promosi di klub jurnalistik.

"Kalau kamu mau nanya atau butuh sesuatu, chat di Lain aja," kata Mbak Wan. "Kamu udah masuk grup Lain belum?"

"Sudah sejak Agustus." Aku tak pernah membukanya sih.

"Yaudah, dah."

"T-tunggu," cegahku saat mereka hendak pergi.

"Ya?" Mbak Wan menoleh.

"Jadi rapat klubnya sudah selesai?"

"Umm ...." Mereka berdua saling beradu pandang. Lalu Mas Salah berkata, "Sudah selesai kok. Kamu boleh pulang."

Cuma begitu?

Biasanya aku senang karena bisa pulang cepat. Tapi kalau situasinya begini, aku tak bisa pulang dengan tenang. Kehidupan sekolahku dipertaruhkan di sini.

"Apa tidak ada rapat divisi atau semacamnya?"

"Enggak."

"Bagaimana dengan majalah edisi bulan ini? Apa tak ada yang bisa kita lakukan?"

"Kita 'kan divisi pemasaran. Tugas kita sekarang cuma nunggu kerjaan divisi lain," ujar Mbak Wan. "Tapi kalau kamu mau tahu lebih banyak, coba deh tanya Alin. Dia yang bawa datanya."

Telingaku berdengung mendengar nama Alin.

"Alin? Maksud Mbak, Alin Aurelina?"

"Yap."

Sialan. Kenapa aku harus berurusan dengan dia lagi?

Setelah aku bilang terima kasih, mereka pun pergi. Santai sekali. Mereka sama sekali tak tampak khawatir saat mendengar klubnya hendak dibubarkan. Bukannya cemas, sikap mereka justru mirip napi yang baru keluar dari penjara.

Aku menoleh ke salah satu sisi ruangan. Si Grandong brewokan masih di sini. Untuk pertama kalinya, pandangan kami bertemu. Namun hanya berselang sedetik ia memakai headset untuk menutupi telinganya dan kembali menatap laptopnya.

Bisakah aku bekerjasama dengan orang-orang ini?

Kurasa aku tak punya pilihan. Suka tidak suka, aku perlu menemui Alin.

***

Mr. I Project: Devil Must DieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang