"Pikirkan tawaranku baik-baik," kata Rendy. Setelah memungut kamera di atas meja rias, ia keluar kamar.
Kumasukkan foto-foto ke amplop cokelat lagi. Kupejamkan mata. Kutarik napas dalam-dalam lalu kusingkirkan tangan Poppy dari pinggangku.
"Bangun," perintahku.
Poppy mengucek-ucek matanya. Ia tersenyum dan berkata, "Pagi, Grey."
"Aku tahu kau cuma pura-pura tidur sejak tadi."
Ia memandangku iba. "Maaf."
Aku beranjak dari tempat tidur. Persetan dengan rasa sakit di tubuhku.
Poppy menarik bajuku. "Kamu mau ke mana?"
"Pulang."
"Tapi kamu belum selesai dirawat, Grey. Bentar lagi Papiku ke sini kok."
Aku tetap berjalan meski harus terseret-seret. Poppy masih belum melepaskan tangannya dari lenganku.
"Grey—"
"Berhenti mengganggu!"
Aku berbalik. Poppy terperanjat. Tangannya langsung lepas dan ia mundur selangkah.
"A-aku panggil sopirku dulu biar kamu bisa pulang."
Gadis itu tersenyum lemah. Matanya tak tampak main-main kali ini.
Poppy mengantarku menggunakan limosin hitam yang ia tumpangi tadi malam. Kami duduk di kursi paling belakang. Aku hanya memandang ke luar jendela sepanjang perjalanan. Aku tak peduli Poppy berusaha menghiburku ataupun sekadar mengajakku bicara. Ia hanyalah hantu dalam pikiranku saat ini.
Pintu rumah terbuka lebar saat aku tiba. Begitu aku keluar mobil, ibuku dan Roy muncul dari dalam rumah dan menyambutku di teras. Raut wajah Ibu tampak lebih tua lima tahun dari usianya sekarang. Rambutnya juga tampak kusut.
"Ya Allah, Grey! Kamu dari mana aja, Nak?" Ibu langsung memegangi kedua pundakku sesampainya aku di teras. "Haduh, kok kamu bisa babak belur begini? Kamu enggak kejebak kerusuhan tadi malam, 'kan? Ibu khawatir tahu!"
Roy berdiri di belakangnya, tanpa ekspresi.
Ibu memelukku. Sepertinya dia tak tahu kalau tubuhku kesakitan saat dipeluk, tetapi kubiarkan saja.
"Grey cuma jatuh kok, Tante," kata Poppy. "Tapi enggak apa-apa dia udah dirawat sama Papiku."
Ibu melepaskan pelukannya. "Eh, kamu anaknya dokter Chandra, 'kan? Poppy?"
"I-iya."
"Terima kasih ya. Ngomong-ngomong berapa biaya—"
"Enggak usah, Tante."
"Oh, gimana kalau masuk dulu?"
"Poppy ada urusan, Bu. Biarkan dia pergi," tegasku.
"Lho, tapi Nak—"
"Biarkan dia pergi." Aku melirik tajam ke arah Poppy.
"E-enggak apa-apa, Tante. S-saya emang ada urusan lain. Permisi. Dah, Grey."
Setelah kupastikan mobil mewah Poppy tak terlihat lagi, kukeluarkan amplop cokelat tadi dari tas pinggangku.
"Sekarang waktunya Om menjelaskan semua ini," ujarku sembari menyerahkan amplop itu pada Roy. Pria itu dengan santai membukanya. Lalu saat ia melihat foto-foto di dalam amplop, wajahnya jadi lebih serius.
"Kau dapat ini dari mana?" tanyanya.
"Apa itu benar?" ucapku mengabaikan pertanyaannya. "Apa benar Bapak dibunuh, bukan kecelakaan? Apa benar Om pernah jadi tersangka atas pembunuhan Bapak? Siapa sebenarnya Om? Kenapa Om punya banyak nama, paspor, dan KTP palsu? Jawab!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. I Project: Devil Must Die
Mystery / Thriller[Pemenang Watty Awards 2019 Kategori Mystery & Thriller] Orang bilang Klub Jurnalistik dijuluki "Klub Jurik" karena ruangannya berhantu. Kalau itu benar, sebagai anggota "gaib", aku adalah salah satu hantunya. Namaku Grey. Aku harus mencegah pembub...