Aku berhenti dan menoleh pada Ivan. Pandangannya tampak serius.
Aku kembali duduk. Asal tak cuma buang-buang waktu, tak ada salahnya mendengar ceritanya.
Ivan menghela napas panjang dan mulai berbicara.
"Berdasarkan survei yang kulakukan, perbandingan antara dukungan siswa untukku dan untuk Rendy adalah tiga puluh banding tujuh puluh persen. Rekam jejak Rendy juga jauh lebih baik daripada aku. Peringkat satu paralel dua tahun berturut-turut, peraih medali emas OSN Fisika, dan di ekskul, klub drama yang ia pimpin sangat populer dan punya banyak prestasi."
Tiba-tiba aku merasa seperti mendengarkan siaran berita pilkada.
"Sejak aku mengajukan diri menjadi calon ketua OSIS," lanjut Ivan, "aku sadar bahwa aku tak dapat mengalahkan Rendy dengan cara biasa. Karena itu, aku butuh bantuan Alin. Sejak masuk klub, ia sibuk mencari tahu tentang misteri di balik kematian Kak Ratna, termasuk keterlibatan Rendy dalam kasus itu."
"Jadi intinya, Kakak ingin menemukan borok Kak Rendy, sehingga Kakak dapat menjatuhkan reputasinya?"
Ivan hanya tersenyum.
"Lalu apa hubungannya denganku?" tanyaku. "Kakak sudah jadi pacar Alin. Tinggal bilang padanya, beres, 'kan?"
"Itu tak sesimpel yang kaupikirkan." Senyuman di wajah Ivan menghilang. "Sekitar sejam sebelum debat tadi siang, Alin mengajakku bicara empat mata. Penampilannya kacau sekali, tahu? Ucapannya juga tidak masuk akal. Tiba-tiba dia datang, lalu memintaku menjadi pacarnya. Dia bilang jika aku bersedia, dia bakal membantuku memenangkan pemilos—tepat di saat aku membutuhkannya."
Rupanya bukan cuma aku yang jadi sasaran manuver Alin tadi pagi.
"Lantas, di mana letak masalahnya? Bukannya itu bagus untuk Kakak?"
"Masalahnya, ucapannya terlalu mendadak. Sebelumnya aku sudah berkali-kali membujuknya, tapi selalu gagal. Namun, tiba-tiba dia berubah pikiran, dan memintaku menjadi pacarnya?" Ivan menghela napas. "Di satu sisi, aku merasa seperti baru menang lotre. Di sisi lain, situasi ini sangat tidak nyata sampai-sampai membuatku takut. Belum lagi sorot mata Alin saat itu tak seperti cewek yang menembak cowok atas dasar cinta. Tatapannya lebih mirip begal. Seolah-olah dia bakal membunuhku kalau aku menolak. Saat kutanya kenapa, dia cuma bilang, 'Diam dan ikuti perintahku kalau Kakak ingin selamat.'"
Ah, kurasa aku mulai mengerti perasaan Ivan.
"Pada saat yang sama, aku tak bisa menghubungi Diaz, dan Pink Blazers bergerak untuk kembali merekrut Feli. Alin mungkin tak memberitahuku, tapi aku yakin ini pasti ada hubungannya dengan Rendy ..." Ivan menengok kanan-kiri, "dan Tomcat," sambungnya lirih.
Ivan menyatukan kedua tangannya, lalu mengepalkannya di atas meja. Jari-jarinya gemetaran.
"Grey, kau teman dekat Alin, 'kan? Apa kau tahu apa yang telah Alin lakukan?"
Ucapan, raut muka, dan gerak tubuh Ivan kompak menampilkan kengerian. Sepertinya ia masih belum tahu baik soal Mas Diaz maupun rekaman Alin. Namun, seminim-minimnya informasi yang ia ketahui, ia tetap ketua klub Jurnalistik. Lebih baik aku bermain aman. Aku belum tahu apakah ia berbahaya atau tidak.
"Maaf, tapi aku dan Alin tak sedekat itu. Kami cuma pernah sekelas saat SMP. Tak lebih. Aku tak pernah tahu apa yang sedang ia pikirkan atau yang telah ia lakukan."
"Bohong," bantahnya. "Kemarin kau mengajak Alin ke rumahmu saat orangtuamu tak di rumah. Kau membiarkan Alin memakai kamarmu, kamar mandimu, dan kau bahkan meminjamkannya baju ibumu. Aku tak tahu apa yang kalian berdua lakukan di rumahmu malam-malam. Tapi apa kaupikir sepasang cowok dan cewek yang tak punya hubungan spesial bakal melakukan itu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. I Project: Devil Must Die
Mystery / Thriller[Pemenang Watty Awards 2019 Kategori Mystery & Thriller] Orang bilang Klub Jurnalistik dijuluki "Klub Jurik" karena ruangannya berhantu. Kalau itu benar, sebagai anggota "gaib", aku adalah salah satu hantunya. Namaku Grey. Aku harus mencegah pembub...