Aula SMA Negeri 1 Petanjungan terletak di seberang jalan, di depan kompleks gedung utama sekolah. Di sebelah aula, ada tiga set lapangan voli dan satu lapangan basket, sedangkan di belakangnya terdapat hamparan sawah yang membentang hingga ke kota tetangga.
Di luar aula, kompetisi bola voli dan basket antarkelas sedang berlangsung. Sementara itu, di dalam aula akan ada acara debat calon ketua OSIS. Para siswa pendukung kedua belah pihak tampak ramai memadati aula, khususnya pendukung Rendy. Seruan, "Rendy! Rendy!" terdengar sampai ke seberang jalan.
Siswa-siswa berjiwa bisnis tinggi memanfaatkan kesempatan ini dengan membuka lapak jajan dan minuman. Ada pula yang menjadi pedagang asongan. Beberapa cowok menjajakan cangcimen dan aksesoris murahan sambil berteriak, "Sayang kakak, sayang kakak," di depan kakak kelas cantik yang lewat.
Aku terjebak bersama Red untuk meliput debat calon ketua OSIS. Saat kami hendak ke dalam, ada sedikit ketegangan di depan pintu masuk aula.
"Maaf, Kak, selain siswa Smansa dilarang masuk," kata cowok berseragam OSIS dengan setelan jas hitam pada gerombolan berjaket pink. Jas hitam adalah seragam pengurus OSIS Smansa.
"Eh, Bacot! Kita 'kan pernah jadi siswa sini juga! Minggir!" bentak Suketi. Komplotannya turut memprotes.
Beberapa pengurus OSIS yang menjaga pintu masuk tampak kewalahan menghadapi protes dari gerombolan tersebut. Untungnya Pak Sanusi—guru olahraga kami—segera datang dan menyuruh mereka pergi.
Usai masuk, Red dan aku mengambil posisi di depan kerumunan—sekitar sepuluh meter di depan panggung. Rendy dan Ivan sudah bersiap-siap di atas panggung. Kulihat sekelilingku. Ada beberapa anggota Klub Jurik selain kami berdua. Ada Feli, Lilis, Mas Salah, Mbak Wan, dan ada Alin juga. Kukira dia tak tertarik dengan hal semacam ini.
"Aku merekam mereka, kau catat ringkasannya," kata Red padaku.
Kenapa harus mencatat kalau sudah ada rekaman? Merepotkan saja.
Sebenarnya aku ingin bilang begitu, tapi aku sedang malas berdebat. Akhirnya aku tetap mengambil buku dan alat tulisku.
Tak lama kemudian, datang dua orang—cewek dan cowok—sambil membawa mikrofon. Cowok-cowok di sekitarku langsung bergemuruh. Mereka antusias menyambut cewek yang baru saja naik panggung. Cewek itu pun tersenyum dan melambaikan tangan. Rambut panjangnya dihiasi pita merah polkadot bak kado ulang tahun. Wajahnya putih, matanya lebar, mukanya polos dan cenderung kekanak-kanakan. Tubuhnya pendek, tetapi kakinya jenjang mirip artis JAV. Ia mengenakan baju putih berlengan panjang dan rok merah berlipat-lipat. Tinggi stocking-nya sedikit di atas lutut. Sepintas, kupikir ia anak SD. Namun seandainya ada anak SD dengan dada dan pinggul seseksi dia, mungkin bakal muncul banyak pedofil di kota ini.
Sementara itu, cowok di sebelahnya memakai peci hitam, baju koko putih, dan celana hitam. Sangat kontras dengan pasangannya.
"Apa kabar semuanya!!!" seru cewek itu sambil mengangkat satu tangannya. Ucapannya disambut meriah oleh siswa-siswa di ruangan ini.
Keramaian di sini lambat laun membuatku lelah. Sebagai seorang introver, energiku cepat terkuras dalam situasi begini.
"Saya, Poppy Puspitasari," ucap cewek itu.
"Dan saya, Mustafa Kepret," sahut si cowok.
"Kami berdua akan memandu jalannya acara debat pemilos tahun ini," sambung mereka secara bersamaan. "Selamat menyaksikan!"
Red bilang Poppy adalah siswi kelas X-9, anggota klub drama, dan sepupu Rendy, sedangkan Mustafa Kepret adalah siswa kelas XI IPA 3 dan ketua ekskul rebana. Kata Red, nama aslinya Mustafa Kemal. 'Kepret' adalah julukannya karena kepretan (baca: tabuhan) rebananya telah membawa ekskul rebana Smansa juara tingkat provinsi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. I Project: Devil Must Die
Mystery / Thriller[Pemenang Watty Awards 2019 Kategori Mystery & Thriller] Orang bilang Klub Jurnalistik dijuluki "Klub Jurik" karena ruangannya berhantu. Kalau itu benar, sebagai anggota "gaib", aku adalah salah satu hantunya. Namaku Grey. Aku harus mencegah pembub...