Bagian 63: False Lead

2.1K 537 43
                                    

Wartawan. Polisi. Wartawan lagi. Rumah sakit seharusnya menjadi tempatku beristirahat dengan tenang, tetapi ketenangan tak hadir di sisiku sejak aku siuman. Semuanya penasaran dengan 5W dan 1H mengenai insiden pembakaran pondok dan penculikan putri keluarga Prakoso, seakan tak peduli bahwa aku juga korban. Dokter dan perawat telah melarang orang memasuki bangsalku selain yang berkepentingan. Namun, suara gaduh di luar tetap terdengar sampai sini.

Aku tahu mereka hanya menjalankan tugas, tapi kalau jadi jurnalis berarti harus selalu dikejar deadline dan membuat sebal banyak orang, aku bakal mencoret pekerjaan jurnalistik dari daftar cita-citaku. Mari loncati bagian membosankan ini dan langsung ke bagian paling menarik selama aku di rumah sakit: bermain catur dengan Karina.

Karina menyerahkan smartphone-nya padaku. Kami bermain catur melalui aplikasi. Seharusnya kini giliranku melangkah, tetapi ada tulisan CHECKMATE terpampang di layar yang artinya aku kalah.

"Mainmu terlalu bagus, Rin."

Karina tersenyum. "Kamu juga berbakat kok, Grey. Pernah ikut klub catur ya sebelumnya?"

"Tidak. Cuma sering main online."

"Kamu cuma terlalu defensif. Padahal pas langkah kedua puluh, kamu punya peluang buat membuka pertahanan rajaku kalau berani mengorbankan benteng."

Dia masih mengingat langkahku meski tak melihat layar, huh. Sudah sembilan kali aku menantangnya tanpa sekali pun menang. Kupikir dia jauh lebih berbakat daripada aku.

Aku suka catur. Kau dapat mengorbankan apa pun yang kaumiliki di atas papan asal bisa mengalahkan lawan. Namun saat hal itu diterapkan di kenyataan, yang tersisa hanya tragedi dan penyesalan. Mengingat wajah Feli saja membuatku ingin mati.

"Terus, kenapa kudamu enggak pernah kamu mainin?" tanya Karina, usai menguliahiku dengan pengetahuan caturnya.

"Kuda adalah kesatria [*]. Mereka terlalu suci untuk ikut dalam permainan kotor ini."

[*Dalam bahasa Inggris, kuda dalam catur pada umumnya disebut knight, yang berarti kesatria.]

Karina menutup mulut dan tertawa. Mendengar tawanya, aku berubah pikiran. Aku bersyukur masih diizinkan hidup.

"Pfft, sok romantis," ucap Alin yang baru saja datang menjenguk sambil membawakan buah-buahan. "Rin, Grey itu diam-diam mesum, hati-hati."

"Jangan disebut juga kali," protesku.

"Terus apa tujuanmu menantang pecatur cewek nomor satu se-Petanjungan kalau bukan mau modus? Emang kamu bisa ngalahin Karina?"

Karina sehebat itu? Tak heran.

Usai menyapa Karina, Alin meletakkan ponsel di ranjangku. Aneh. Terakhir kulihat ponsel itu ada di tangan Darto.

"Bagaimana bisa ...."

"Maaf, sebenarnya ini bukan hapeku," ujar Alin. "Ini hape Pak Seta yang udah dipasang pelacak."

"Jadi dia mengawasiku selama ini?"

"Beliau khawatir sama kondisi mentalmu, Grey. Beliau takut kamu berbuat hal-hal yang merugikan dirimu." Alin memandangku kasihan, lalu raut mukanya berubah sebal. "Dan ternyata beliau benar."

"Kalau dia mengawasiku, kenapa dia tak lapor polisi atau menghentikanku?"

"Kamu enggak mau melibatkan polisi karena mau bantu buronan, 'kan? Aku minta Pak Seta enggak lapor polisi dulu sebelum tahu situasimu. Sayangnya, beliau enggak bisa masuk ke kediaman Prakoso. Baru pas di Pondok beliau bergerak."

"Dia yang mengirim orang-orang bertopeng itu?"

"Hah? Aku enggak tahu detailnya, katanya sih Pak Seta bergerak sendirian buat melumpuhkan anggota geng Tomcat di sekitar Pondok. Saat ada api, baru beliau lapor polisi," terangnya. "Sekarang beliau sibuk jadi saksi. Beliau nitip hape ini ke aku buat dikasih ke kamu lagi."

Mr. I Project: Devil Must DieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang