"Hah?! Bang, jangan percaya omongannya!" seru Jarot. "Bukannya aneh? Grey banyak tahu soal pemukulan Diaz padahal dia tak di sana waktu itu. Mungkin dia pembunuh Diaz yang sebenarnya!"
"Aku mendapatkan info itu pertama kali dari Mas Diaz sendiri. Hari Minggu, aku dapat chat darinya sehabis Maghrib, waktu hujan baru turun. Dia memintaku menyelamatkan Alin—perekam itu. Aku cepat-cepat ke sana memakai sepeda. Aku juga berpapasan dengan Jerry dan Abang ini," ucapku sambil menunjuk Mat Kupluk. "Abang waktu itu bertanya pada seseorang yang memakai mantel biru, 'kan?"
"Jadi itu ente?" tanya Mat Kupluk.
Aku mengangguk. "Aku tak paham siapa yang kalian kejar waktu itu. Lalu di tengah jalan, aku bertemu Alin yang sedang bersembunyi. Aku bahkan tak sampai ke Pondok. Aku tahu sebagian besar peristiwa itu dari Alin."
"Waktu hujan. Berarti setelah kami berpencar meninggalkan Diaz," gumam Darto. Ia melirik ke arah Jarot. "Kupikir kau sudah menyita hape Diaz waktu itu."
"D-dia bohong, Bang!" bantah Jarot. "Mana buktinya kalau Diaz pernah men-chat dia?"
"Kebetulan aku masih menyimpan obrolan kami," ujarku sambil memperlihatkan aplikasi Lain di laptopku.
"Grey jujur. Waktunya pas," tukas Darto. "Sekarang apa pembelaanmu, Nyil?"
Sekujur tubuh Jarot mulai gemetar. "D-Diaz mengambil ponselnya dariku," katanya. "Tapi aku tak membunuhnya, Bang! Sumpah!"
"Sabtu kemarin, rumahku juga mau dibobol oleh anggota Tomcat bertubuh boncel yang mengaku sebagai utusan Mr. I. Tetanggaku menimpuk kepalanya pakai batu. Coba buka topinya. Mungkin ada luka di kepalanya," kataku.
Darto langsung membuka topi Jarot. "Grey benar lagi."
"Bohong! Bohong! Bohong! Kalian lebih percaya pembohong itu daripada aku?!"
Jarot tampak makin putus asa. Kuputar rekaman interogasiku dengan Mawar. Aku tak mau kehilangan momentum untuk memperbesar keraguan Darto terhadapnya.
"Ah, kalau Jarot sampai sekarang masih ada di grup si Mr. I itu."
Saat rekamanku sampai di kalimat itu, Jarot tiba-tiba mengeluarkan pisau lipat dari sakunya dan siap menghujamkannya padaku. Namun, dalam sekejap ia jatuh terjerembab. Darah muncrat dari lehernya. Ia menggelepar-gelepar di atas lantai seperti ikan yang dilempar ke minyak panas hidup-hidup.
Kualihkan pandanganku. Darto memutar-mutar kerambitnya yang berlumuran darah. Percikannya mengotori sekelilingnya, mulai dari taplak meja, boneka Poppy, hingga sedikit mengenai mukaku.
Darto menancapkan ujung pisaunya ke atas meja dan berkata, "Kau tahu kenapa kami dijuluki Mo-limo? Kami tidak hanya mabok dan madat, tetapi juga mengatur penjualan miras dan narkoba di kota ini. Kami tidak hanya main, tetapi juga bandar judi paling ditakuti. Kami tidak hanya madon, tetapi juga menguasai industri seks dan prostitusi. Setiap maling di kota ini wajib memberikan upeti pada kami, dan kami tak segan untuk mateni [*]."
[*mateni: membunuh]
Pandangannya berputar ke seluruh anggota Tomcat yang hadir. "Kalian paham?! Kalian sama busuknya denganku. Kalian pikir, dengan mengkhianatiku kalian bakal diampuni? Semua orang membenci kita. Polisi menembaki kita tanpa perlu merasa bersalah. Tapi lihat, saat kalian mematuhi perintahku, bahkan surga milik orang terkaya di kota ini bisa kalian dapat. Jadi pilih ikut denganku, atau mati konyol seperti si tolol ini?"
Teror meresap dari telinga ke saraf-sarafku begitu mendengar kata demi kata yang Darto ucapkan. Suara paraunya bagai bisikan setan, membuat semua orang kaku seperti patok kuburan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. I Project: Devil Must Die
Mystery / Thriller[Pemenang Watty Awards 2019 Kategori Mystery & Thriller] Orang bilang Klub Jurnalistik dijuluki "Klub Jurik" karena ruangannya berhantu. Kalau itu benar, sebagai anggota "gaib", aku adalah salah satu hantunya. Namaku Grey. Aku harus mencegah pembub...