Wajah Sugeng berseri. Ia beranjak dan menyalami Roy.
"Mas Roy? Wah, lama enggak ketemu. Gimana kabarnya? Baik?"
"Kupikir kau bercanda saat bilang mau jadi polisi. Kapok ngejar-ngejar cewek?" tanya Roy.
Sugeng hanya cengar-cengir mendengarnya. Ia memanggil pria tinggi itu dengan sebutan Roy, dan seingatku Isnan juga menyebutnya begitu. Aku tak pernah mendengar orang lain memanggilnya Roy selain Ibu dan aku.
"Aku yang meminta Grey merekam kejadian di kafe," ucap Roy jelas-jelas berbohong. "Apa dia membuat masalah?"
Sugeng melirikku dan tersenyum. "Oh, justru Grey sudah banyak membantu kami. Saya cuma mau memastikan detail-detail yang kelewatan."
Aku memalingkan muka sementara Sugeng menjelaskan temuannya pada Roy.
"Yang jelas, aku yakin anak yang kaubilang membonceng Deni Dongkrak bukan Grey," tukas Roy.
"Baiklah. Kalau Mas bilang begitu, berarti saya sudah tidak ada urusan lagi di sini," ujar Sugeng sambil merogoh koceknya. Ia mengeluarkan kartu pelajarku, meletakkannya di atas meja, lalu berbisik, "Lain kali hati-hati, Grey. Pak Hendrik sedang murka gara-gara Mbak Alin hampir diculik tadi malam."
Aku menelan ludah.
Sugeng pun berpamitan. Mataku terpaku memandangi kartu pelajarku.
Sepeninggalnya Sugeng, Roy berkata padaku, "Kau masih marah padaku?"
"Tidak seburuk tadi pagi."
"Maaf, aku benar-benar tak bermaksud—"
"Aku tahu. Om cuma mau membuatku lebih aktif di sekolah, punya banyak teman, dan bisa naik kelas dengan bahagia seperti anak-anak lainnya, 'kan?"
Roy tak tampak terhibur dengan candaanku. Ya sudah.
"Om mungkin yang pertama mendorongku, tetapi pada akhirnya, aku yang memutuskan semuanya. Menyalahkan Om atas semua yang kulakukan bukanlah sikap orang yang bertanggung jawab. Seharusnya aku yang dimarahi, bukan?"
Roy duduk di sampingku.
"Daripada marah, aku malah kagum padamu. Sekarang polisi benar-benar fokus memberantas preman berkat rencanamu."
Aku bergeming.
"Tapi kau juga perlu memikirkan perasaan ibumu, Grey. Rencana yang perlu mengorbankan diri sendiri agar bisa sukses bukanlah rencana yang keren."
"Simpan kuliahnya untuk nanti. Om masih utang jawaban padaku."
Roy menghela napas.
"Baiklah. Kita mulai dari mana?"
"Apa pekerjaan Om selain jadi guru?" tanyaku seraya mengeluarkan kartu berlogo elang miliknya.
"Pernah dengar istilah private contractor?" katanya.
"Semacam tentara bayaran?"
"Bukan, itu mercenary atau private military contractor. Pekerjaanku dulu cuma mengawasi bangunan, orang, atau barang. Tidak sampai ikut perang."
"Oh, seperti satpam?"
Roy tertawa. "Aku lebih suka menyebutnya private contractor."
"Memang apa bedanya?"
"Soalnya lebih keren."
Dasar aneh.
"Canda, canda," katanya sambil tertawa. "Aku pernah bekerja di penyedia jasa pengamanan swasta sewaktu kuliah. Buat tambah-tambah penghasilan. Namanya PT Mata Rajawali, seperti logo di kartu ini." Ia mengangkat kartu tersebut. "Sebenarnya satpam bukan istilah yang cocok, karena selain mengawasi, kami juga dituntut bisa mencari informasi, spionase, maupun sabotase. Makanya aku punya banyak nama samaran. Kami biasanya direkrut perusahaan besar untuk mengumpulkan informasi mengenai saingan mereka, atau sekadar menjaga informasi berharga. Kami juga kadang membantu polisi menjadi informan dan ikut memburu kriminal kalau bayarannya pantas. Tapi aku sudah pensiun sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. I Project: Devil Must Die
Mystery / Thriller[Pemenang Watty Awards 2019 Kategori Mystery & Thriller] Orang bilang Klub Jurnalistik dijuluki "Klub Jurik" karena ruangannya berhantu. Kalau itu benar, sebagai anggota "gaib", aku adalah salah satu hantunya. Namaku Grey. Aku harus mencegah pembub...