Bagian 8: Diaz

3.4K 668 134
                                    

Malam Minggu. Saat yang lain tengah berkencan dengan pasangannya, aku berkencan dengan Ranger, sepeda kesayanganku.

Sehabis Maghrib, aku pergi ke pasar swalayan untuk berbelanja. Hari ini ibuku pulang larut. Katanya banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.

Kini aku tahu kenapa aku merasa tak asing dengan nama Prakoso. Ibuku bekerja di sebuah pabrik tekstil, dan seingatku ia pernah bilang bahwa bosnya bernama Prakoso. Sejak kami pindah ke kota ini tiga tahun yang lalu, Ibu memang suka gonta-ganti pekerjaan. Jadi aku tak begitu hafal dengan seluk beluk pekerjaannya.

Hiruk pikuk kota Petanjungan tidak surut walau hari sudah petang. Pusat-pusat perbelanjaan ramai pembeli. Gerobak dan kain terpal pedagang kaki lima saling berjajar-jajar di tepi jalan. Jalan raya ramai dengan kendaraan bermotor, sepeda, dan becak. Sayangnya di sini minim tempat parkir. Hanya toko-toko besar seperti mal dan plaza yang menyediakan tempat parkir khusus, sedangkan sisanya parkir di bibir jalan. Akibatnya, macet pun tak terhindarkan.

Gemerlap lampu warna-warni menghiasi tiap-tiap sudut kota, kontras dengan langit yang semakin gelap. Gedung-gedung pencakar langit menampakkan cahaya kelap-kelip bak lampu taman raksasa. Meski jumlahnya tak sebanyak di Jakarta, kata ibuku, gedung pencakar langit di Petanjungan adalah pemandangan yang luar biasa. Ibu bilang, sepuluh tahun yang lalu, Petanjungan hanya sebuah desa kecil yang delapan puluh persen wilayahnya masih berupa sawah dan ladang. Sejak investor kaya menanamkan modalnya kemari, Petanjungan dan daerah-daerah sekitarnya berubah dari desa yang tenang menjadi kota yang berisik.

Aku masuk ke salah satu mal dan memasukkan barang-barang di daftar belanja ke dalam keranjang. Beras, gula pasir, teh, minyak, telur, sabun mandi, deterjen, mie instan, es tung-tung, kurasa sudah semua. Aku pun membayar pada kasir dan bergegas pulang.

"Cuk! Duit mana duit!"

"Enggak ada, Mas."

Saat menuntun Ranger keluar parkiran, tampak tiga orang pria dengan rompi dan celana denim memalak seseorang di dekat tembok. Kurasa aku tahu siapa yang mereka palak. Dilihat dari brewoknya, ya, dia adalah si Grandong penunggu ruang klub Jurik.

"Bohong kamu!" bentak pria dengan ikat kepala.

"Sumpah, Mas."

"Halah, lama!" kata pria dengan tato kalajengking di lengannya. Ia lalu merogoh saku celana si Grandong dengan paksa. Grandong mencoba melawan, tapi usahanya gagal. Pria itu berhasil menemukan dompetnya.

"Katanya nggak punya uang," ujar pria ketiga. Tubuhnya lebih pendek dan tambun daripada dua orang rekannya. "Ini apa? Daun kesemek?"

"I-itu buat biaya berobat adik saya, Mas."

"Alasan!" Pria dengan ikat kepala meraih dompet Grandong dari rekannya, mengambil isinya, lalu melemparkan dompet tersebut ke tubuh pemiliknya.

Aku melihat ke sekeliling adegan tersebut. Banyak orang berlalu-lalang, tapi tak ada yang berhenti untuk menyelamatkan cowok brewok itu. Jangankan menyelamatkan, menegur saja tidak. Satpam yang menjaga lokasi ini tampak tidur dengan mulut menganga di posnya, sementara para tukang parkir susah payah menata motor-motor yang parkir sembarangan. Semuanya sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri.

Mengapa orang sebanyak itu hanya berlalu saat melihat orang yang jelas-jelas butuh pertolongan? Mungkin semakin banyak orang, semakin banyak pula yang berpikir bahwa masalah orang lain bukan urusan mereka. Mungkin mereka ingin menolong, tetapi berharap agar orang lain yang melakukannya. Mungkin mereka merasa tak mampu, takut, atau malas. Atau bisa saja mereka hanya tidak peduli. Aku jadi ingat kasus seorang wanita yang ditusuk-tusuk di depan apartemennya, di depan banyak saksi mata. Tak seorangpun menghentikan si pelaku. Bahkan tak ada yang menelepon polisi sampai wanita itu mati. [*]

Mr. I Project: Devil Must DieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang