Bagian 46: Berburu Hantu

2K 530 65
                                    

Sabtu pagi. Bosan mendengarkan ceramah guru, aku mencari informasi tentang keluarga Prakoso via Gugel. Aku penasaran seberapa besar pengaruhnya sampai-sampai membuat pemerintah kota bertekuk lutut.

Pendiri Grup Prakoso adalah Wisnu Prakoso, kakek Rendy, Jerry, dan Poppy. Berawal sebagai pengusaha kain batik, ia berhasil mengembangkan usahanya hingga ke kota-kota besar di seluruh Indonesia. Anak pertamanya, Suryo Prakoso—ayah Rendy dan Jerry—memperluas cakupan usaha mereka hingga merambah industri tekstil dan perkebunan kapas.

Masa keemasan mereka berawal sejak sepuluh tahun yang lalu, saat Suryo berhasil memenangkan sengketa tanah di daerah Petanjungan. Ia menyulap kota ini menjadi salah satu penghasil kain yang diperhitungkan. Daerah yang sebelumnya sepi karena minimnya lapangan kerja, kini menjadi daerah industri baru dan sedang berkembang menjadi kota metropolitan—kata salah satu artikel yang kubaca.

Suryo masuk daftar seratus orang terkaya di Indonesia. Ia memperkuat dominasinya di dunia politik dengan menjadi ketua cabang salah satu partai ternama. Ia punya banyak kolega di DPR, DPRD, dan walikota. Istrinya saja anak mantan menteri.

Suryo memiliki dua adik kandung, yakni Agni Prakoso—ibu Poppy— dan Indra Prakoso. Agni menikah dengan Chandra Wibowo, pemilik rumah sakit Sehat Sentosa—salah satu rumah sakit terbesar di kota ini. Bulan lalu, mereka baru merayakan ulang tahun pernikahan yang kedua puluh.

Tak ada yang menarik. Kupikir bakal ada artikel picisan yang memuat skandal keluarga Prakoso, seperti kaitan mereka dengan kerusuhan Tegalrandu atau kebakaran Pondok Kamboja.

Sepulang sekolah, aku berniat membawa jaket Alin ke tempat pencucian kilat. Namun, aku pergi ke Pondok Kamboja lebih dulu sambil menyamar. Belum ada kabar bahwa polisi telah memeriksa tempat itu. Meski peluangnya kecil, mungkin aku bisa mendapatkan petunjuk tentang kematian Mas Diaz di sana.

Bangunan bekas panti asuhan tersebut terletak di dekat perkebunan kapas. Kalau dilihat dari jauh, bentuk bangunannya memanjang hingga ke tengah-tengah perkebunan. Banyak pohon kamboja yang tumbuh di halamannya. Letaknya agak terpencil meski jalan di depannya satu jalur dengan perumahan. Jalanannya juga tak dilengkapi lampu. Pasti gelap sekali kalau malam. Tak heran banyak orang yang menganggapnya angker.

Aku menghentikan langkah. Saat aku menoleh ke belakang, ada bayangan tak lazim di salah satu pohon randu di seberang jalan. Bayangan orang. Sepertinya ia tak memperhitungkan matahari yang mulai condong ke barat saat hendak bersembunyi.

Apa dia orang dari Tomcat? Kalau iya, kenapa dia tak langsung menyergapku seperti saat mereka menyerang Ivan? Atau mungkin dia utusan Mr. I? Entahlah. Kurasa terlalu berbahaya untuk langsung memergokinya tanpa berpikir. Kalau ternyata dia bawa senjata tajam, bisa bahaya.

Aku duduk bersandar di pohon randu lainnya sambil sesekali mengamati bayangan orang itu. Tampaknya ia sendirian. Pilihan terbaik saat ini adalah menunggunya keluar. Aku punya cukup banyak waktu sebelum bertemu dengan Poppy. Lagi pula, pemandangan di sini tak buruk juga.

Staminaku mungkin payah saat berlari, tapi saat diam, aku bisa tahan berjam-jam. Saat SD aku selalu menang saat main petak umpet sampai-sampai teman-temanku bosan dan meninggalkanku pulang. Sekarang tinggal lihat siapa yang bakal menyerah duluan.

Baru beberapa menit, ujung sepatu orang itu terlihat. Ada gambar Hello Kitty di sepatunya. Cewek? Apa mungkin Pink Blazer mengirim mata-mata setelah yang kulakukan pada Feli kemarin?

Kulempar batu ke arahnya, lalu sesaat kemudian terdengar jeritan disertai desisan mirip kucing dipentung. Aku paham sekarang. Kudekati pohon itu pelan-pelan. Di baliknya ada seorang cewek berambut keriting yang berjongkok membelakangiku sambil mengusap-usap sepatunya. Saat kutepuk pundaknya, ia menjerit lagi.

Mr. I Project: Devil Must DieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang