"Ini mading klub Jurnalistik?" tanyaku pada Red.
Red tersenyum kecut.
Sebenarnya aku sudah tahu jawabannya. Ada tulisan "JURIK" di bagian atas papan di depanku. Aku hanya tak habis pikir. Sejak masuk SMA, aku selalu mengira bahwa mading klub Jurnalistik adalah papan besar yang sering kulihat setiap berangkat dan pulang sekolah. Papannya dari kayu jati, berbingkai kaca dan dapat dikunci. Di tepi-tepinya ada ukiran khas Jepara dan dilapisi cat emas. Tapi yang kulihat di sini hanya papan tulis reyot sisa-sisa peninggalan zaman kapur, ketika papan tulis spidol dan LCD proyektor belum sepopuler sekarang. Papannya bengkok, bagian tepinya bergerigi dan bolong-bolong digerogoti rayap.
"Siapa yang mau membaca mading di tempat seperti ini?"
"Tikus mungkin. Atau arwah gentayangan. Hahaha."
Aku tak menghiraukan gurauan Red. Mading ini terletak di lorong sempit yang hanya bisa dilalui maksimal dua orang secara beriringan. Ada toilet di balik dinding, sehingga di sini agak pesing. Padahal mading biasanya dipasang di tempat-tempat yang strategis. Seperti di depan sekolah, aula sekolah, atau di persimpangan koridor yang biasa dilewati oleh para siswa.
"Mau bagaimana lagi. Tempat-tempat yang strategis sudah dipakai untuk mading OSIS dan ekskul-ekskul sekaliber PKS, PMR, dan Pramuka. Ekskul yang tak populer seperti jurnalistik bisa apa? Setidaknya di sini aku tak terlalu malu dengan kondisi mading klub ini." [*]
[*PKS: Patroli Keamanan Sekolah, ekskul yang sering diberi tugas untuk mengamankan acara sekolah, membantu polisi mengatur lalu lintas, jadi pasukan pengibar bendera, dsb.]
Kurasa aku dapat memaklumi ucapan Red. Namanya mading. Majalah dinding. Tapi aku tak melihat satu pun yang mirip artikel majalah di sini. Kertas bertumpuk-tumpuk hingga memenuhi papan, namun isinya sebagian besar adalah pesan cinta, lelucon, caci maki, ancaman dan iklan. Ada pula yang saling balas membalas sehingga satu lajur penuh dengan pesan berantai yang berasal dari satu pesan utama.
"Ah, baru ditinggal dua minggu sudah kacau begini," gerutu Red sambil melepas kertas iklan kampanye calon ketua OSIS nomor urut satu, Rendy Prakoso. Beberapa kertas yang ditempel di sini berisi foto dan nama orang ini. Orang yang sama dengan orang di artikel yang Alin ketik. Wajah polos dan senyum tanpa dosa. Kalau diamati lebih dekat, dia memang cukup tampan. Tapi bukan ketampanan maskulin yang biasa dimiliki oleh aktor film laga, melainkan ketampanan ala boyband Korea. Daripada tampan, mungkin ia lebih tepat bila disebut cantik.
Beberapa pesan di kertas-kertas itu cukup menarik perhatianku. Terutama yang berhubungan dengan Alin. Banyak pengirim yang mengaku sebagai pacar, mantan, atau pengagum rahasia Alin.
"Alin sangat terkenal, bahkan di tempat seperti ini."
"Heh, jelas. Dia 'kan icon baru klub Jurik. Klub baru jalan kembali setelah dia masuk," kata Red sambil membusungkan dada. "Kak Ivan bilang sebelum ada dia, kondisi mading lebih parah dari ini. Banyak sekali pesan yang menghina dan menghujat. Lihat, sampai sekarang pun masih ada. Dasar orang-orang kurang kerjaan."
Red memperlihatkan kertas-kertas di balik iklan kampanye yang baru ia lepas. Ada beberapa pesan yang memusuhi Alin dan mengancamnya dengan kata-kata, kuharap kau mati, kuharap kau tak pernah ada. Selain itu, ada pula pesan yang secara langsung menghujat klub jurnalistik.
Seharusnya klub ini dibubarkan saja tahun lalu.
Klub iblis! Berhenti mengusik kehidupan kami!
Sekarang klub Jurik jadi sarang kriminal. Kenapa tak dibubarkan saja?
Ivan goblok. Boneka kepsek. Mati saja kau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. I Project: Devil Must Die
Mystery / Thriller[Pemenang Watty Awards 2019 Kategori Mystery & Thriller] Orang bilang Klub Jurnalistik dijuluki "Klub Jurik" karena ruangannya berhantu. Kalau itu benar, sebagai anggota "gaib", aku adalah salah satu hantunya. Namaku Grey. Aku harus mencegah pembub...