"... KAMI ADALAH LASKAR PEJUANG!"
Aku pernah mendengar kata-kata itu. Lebih tepatnya, aku pernah membacanya. Itu adalah kata-kata yang tercantum di tautan yang pernah Mas Diaz kirimkan padaku.
Mereka adalah Phantom Club.
Perlahan mereka menuju pondok sambil mengulang-ulang kata-kata itu layaknya mantra pemanggil setan. Pakaian mereka tak seperti anggota geng, tetapi lebih mirip orang-orang biasa yang mengikuti aliran sesat.
Anak-anak buah Darto menutup pintu depan. Beberapa dari mereka tampak panik dan mencoba kabur ke belakang. Namun, mereka berhenti saat seseorang yang berjaga di belakang datang dan berseru, "Kebakaran! Kita dikepung!"
Bau bensin menyeruak di sekitarku. Suara orang-orang itu sudah sangat dekat dengan pintu.
Lalu ada ledakan.
"Mobil Bos meledak!" seru mereka yang mengintip dari celah pintu.
"Setan!" umpat Darto. "Ke mana anak-anak yang memantau dari jauh? Bagaimana bisa orang sebanyak itu kemari tapi aku tak dapat info apa-ap—AHHH!"
Poppy menggigit tangan Darto, melepaskan pisau dari genggamannya. Gadis itu lanjut menendang selangkangannya, lalu melemparkan kaleng bom asap dari dalam bonekanya ke arahku.
Kaleng itu mengenai muka Mat Kupluk. Saat ia mengaduh, kubuang pisau di tangannya dan kutarik pemicu bom asap. Poppy menarik tanganku mengajak kabur sementara kulemparkan kaleng ke arah kerumunan di depanku.
Aku lupa Jerry masih di tengah-tengah kerumunan. Aku sempat melihatnya menghajar balik orang-orang yang mengeroyoknya sebelum tubuh mereka tertelan asap. Pada saat yang sama, api mulai melahap pintu masuk.
Poppy menarikku ke dalam bangunan. Gelap gulita. Satu-satunya penerangan adalah jilatan-jilatan api dari balik jendela yang perlahan memanggang gedung beserta isinya. Berkali-kali aku tersandung kayu, puing-puing semen, perabot bekas, atau apa pun yang ada di depan kakiku. Aku tak bisa berpikir jernih.
Aku juga tak tahu ke mana harus menuju. Dari luar, bangunan bekas panti ini tampak lurus-lurus saja dari depan hingga belakang. Namun, bangunan ini seperti labirin ketika berada di dalamnya. Begitu banyak belokan, pertigaan, dan perempatan di koridornya. Kondisi yang gelap membuat segalanya tambah membingungkan.
Napasku tersengal-sengal. Kunang-kunang mulai mengerubungi mataku dan kakiku mulai terasa kaku.
"Poppy! Poppy! Istirahat sebentar ... tolong."
Poppy menghentikan langkahnya. Aku langsung duduk bersandar di dinding sambil mengatur napas. Sialan. Seandainya aku rajin berolahraga, pasti takkan jadi begini.
Kami berada di tengah sebuah pertigaan. Jalan di kananku tampak lebih gelap daripada koridor yang pernah kami lalui sebelumnya, sedangkan jalan di kiriku sedikit lebih terang. Dalam situasi normal, aku pasti akan memilih jalan yang terang. Namun, aku pernah dengar kata pepatah, semua yang berkilau belum tentu emas.
"Ada api dari ruang makan. Kita harus segera pergi," ucap Poppy. Yang ia maksud adalah jalan bercahaya di sebelah kiriku.
Aku kembali berdiri. Berapa kali pun kutarik napas dalam-dalam, tinggal sedikit oksigen yang tersisa di udara.
Poppy mengajakku ke ruang gelap yang lembab dan belum tersentuh asap. Aku kagum ia tetap tenang dalam situasi seperti ini. Padahal aku berniat menyelamatkannya, tetapi sekarang justru dia yang menyelamatkanku. Penglihatannya juga tak tampak terganggu dalam gelap. Seperti kucing.
Kami tiba di depan pintu ruangan tanpa atap. Aku bersyukur. Selain karena udara di sini lebih segar, ini juga ruangan dengan celah saluran air yang bisa membawa kami keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. I Project: Devil Must Die
Mystery / Thriller[Pemenang Watty Awards 2019 Kategori Mystery & Thriller] Orang bilang Klub Jurnalistik dijuluki "Klub Jurik" karena ruangannya berhantu. Kalau itu benar, sebagai anggota "gaib", aku adalah salah satu hantunya. Namaku Grey. Aku harus mencegah pembub...