"Nah, Grey, tunjukkan akting terbaikmu."
Kuabaikan ucapan Rendy dan berfokus pada Jerry yang makin mendekat. Deni dan rekan-rekannya turun dari gazebo. Beruntung aksinya menahan Jerry memberiku waktu untuk mempersiapkan diri. Kutodongkan pistol airku ke muka Jerry, lalu kutembak matanya beberapa kali.
Jerry mengerang kesakitan. Ia menutup matanya usai terkena semprotan cabai dariku. Kuhunuskan tongkatku. Kuserang kepala Jerry sekuat tenaga berharap ia pingsan. Namun, ia menghindarinya tanpa melihat, sehingga tongkatku hanya mendarat di bahu. Dengan instingnya, ia menghempaskanku hingga punggungku membentur tiang kayu.
Rasanya punggungku seperti diinjak-injak, tetapi bahu Jerry tak tampak kesakitan sama sekali. Tidak adil.
Penglihatan Jerry kembali pulih. Saat aku hendak menembak matanya lagi, Jerry menendang tanganku hingga pistol airku terlepas. Kemudian ia memukul pelipisku.
Aku terjerembab. Kepalaku berdenyut-denyut. Saluran pengatur keseimbangan di telingaku seperti dikocok-kocok. Segalanya tampak berpendar. Darah perlahan keluar dari pelipisku.
Mataku kembali fokus. Jerry hendak memukulku lagi. Kutendang tulang keringnya, lalu kulepaskan diri saat ia mengaduh sambil tertatih-tatih. Namun, lagi-lagi ia berhasil memojokkanku. Aku tak punya pilihan selain bermain api.
Kulemparkan pentunganku. Jerry berhasil menghindar, tetapi sasaranku adalah lampu petromaks di langit-langit gazebo. Kacanya pecah, lampunya jatuh di atas meja. Kusabetkan jaketku ke wajah Jerry dan berlari ke arah lampu yang jatuh. Kubuang semua minyak tanah di dalamnya ke seluruh permukaan gazebo yang terbuat dari kayu. Dengan lilin, kusulut taplak meja yang telah kulumuri minyak, lalu kulemparkan ke arah Jerry.
Api menyebar dengan cepat. Aku segera melompat ke luar gazebo sebelum api melahapku. Jerry mengumpat-umpat menyumpahiku. Kunaiki pagar pembatas kafe dengan sisa tenaga yang kumiliki. Sesampainya di atas, aku menoleh ke belakang. Api semakin ganas melahap gazebo. Jerry berhasil keluar dan hendak mengejarku, tetapi upayanya dihalangi oleh anggota geng Dinamo.
Aku melompat turun dan berlari, pantang menoleh ke belakang lagi.
Klakson motor tanda peringatan dari Pink Blazer berbunyi beberapa kali. Agak jauh di belakangku, kudengar suara beberapa orang pria. Entah Tomcat atau bukan. Aku hanya terus berlari.
Seorang gadis berjilbab tampak membuka gerbang bangunan kos Merpati. Aku berhenti sejenak di depannya untuk mengatur napas.
"Karina."
"Grey? Hiyaa!! K-kepalamu—"
Aku cepat-cepat membungkam mulutnya dan menyeretnya masuk ke pelataran kos. Aku berlari menuju gudang yang pernah kumasuki bersama Gita dan Karina, lalu bersembunyi di dalamnya.
Gelap. Pikiranku benar-benar kacau. Aku hanya ingin bersembunyi sampai semuanya berakhir. Setelah napasku kembali rileks, aku baru menyadari suara isak tangis di sampingku. Telapak tangan Karina terasa dingin dan gemetar. Ia tak henti-hentinya beristighfar.
Kucoba melepaskan tangannya, tetapi ia malah lebih erat menggenggamku. Aku hanya bisa meringis menahan sakit di luka bekas tendangan Jerry.
"Lampunya, Grey ... nyalain lampunya ...," ucapnya terisak-isak.
"Di mana saklarnya?"
"D-di sebelah pintu."
Aku berjalan ke sebelah pintu dan meraba-raba dinding. Lampu lima watt di langit-langit gudang pun menyala setelah kutekan saklarnya. Karina langsung melepaskan tanganku dan meminta maaf. Aku juga minta maaf karena panik dan tak sadar telah menyeretnya kemari.
"Dahimu—" Karina tampak ragu ingin mengusap dahiku atau tidak. "Grey, a-apa yang terjadi?"
"Kau tak melihatnya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. I Project: Devil Must Die
Mystery / Thriller[Pemenang Watty Awards 2019 Kategori Mystery & Thriller] Orang bilang Klub Jurnalistik dijuluki "Klub Jurik" karena ruangannya berhantu. Kalau itu benar, sebagai anggota "gaib", aku adalah salah satu hantunya. Namaku Grey. Aku harus mencegah pembub...