"Lihat!" ucapnya sambil menendang tubuh orang yang ia tembak. "Ini yang terjadi kalau kalian melawan polisi! Sekarang serahkan pemimpin kalian atau aku dor kalian satu-satu?"
Dalam sekejap, polisi itu mendongak ke atas. Aku sontak menjauh dari jendela. Dia Isnan, tak salah lagi.
Deni mengumpat sekali. Terlambat. Kami tak bisa keluar lewat depan. Ia menaiki lemari, membuat lubang dengan tinjunya di langit-langit, lalu naik ke atap. Dia cukup gesit untuk orang yang berbadan besar. Tanpa pikir panjang aku pun mengikuti jejaknya.
Pintu kamar diketuk beberapa kali, disertai seruan seseorang memanggil-manggil Deni. Aku terlonjak kaget di atas lemari sehingga kakiku tanpa sengaja menginjak pigura foto Deni dan rekan-rekannya. Kuharap Deni tak keberatan jika aku—
"Deni! Keluar! Tempat ini sudah dikepung!" seru Isnan dari luar menggunakan pengeras suara. Sementara itu, pintu kamar tampaknya sudah tak sanggup menahan dobrakan demi dobrakan. Aku segera naik ke lubang yang dibuat Deni dan merangkak melalui kerangka kayu yang menopang langit-langit dan atap. Ada celah besar di genting tak jauh dari lubang langit-langit. Sepertinya Deni yang membuatnya juga.
Aku naik ke atas genting, berharap orang di bawah tak melihatku. Kutengok kanan-kiri, tak ada Deni di sana-sini. Cepat sekali. Padahal napasku sudah terengah-engah walau baru sampai sini.
Sambil merangkak aku berusaha menuju ke bangunan sebelah. Beruntung bangunan di desa ini berimpit-impitan, jadi aku tak perlu melakukan parkour untuk melompati bangunan demi bangunan. Cuaca mendung dan hari yang semakin sore juga membantuku bersembunyi dari pengawasan orang-orang. Hanya stamina payahku yang kukhawatirkan. Kuharap aku tidak pingsan sebelum tiba di rumah Azka.
Setelah dirasa aman, aku meloncat ke atas genting rumah yang lebih rendah, lalu turun ke atas tanah. Berdasarkan pengamatanku, di seberang tembok pembatas rumah ini terdapat bekas tambak-alias tong sampah raksasa-dan rumah Azka ada di seberangnya lagi. Kupanjat pohon mangga di dekat tembok, lalu bergelantungan di cabangnya agar kakiku dapat meraih bagian atas tembok. Selanjutnya skenario terburuk terjadi: si pemilik rumah keluar, kakiku terpeleset, cabangnya patah, dan aku pun tercebur di tong sampah raksasa.
Singkat cerita, aku berhasil tiba di rumah Azka setelah hampir menghabiskan seluruh sisa tenagaku. Kucari gadis kecil itu hingga kutemukan ia di depan kamar Mas Diaz. Tubuhnya menghadap ke arah pintu kamar yang terbuka, tetapi pandangannya kosong. Kupikir ini ada hubungannya dengan isi kamar Mas Diaz sehingga aku pun memeriksanya. Tak ada siapa-siapa di sana. Lebih tepatnya, tak ada apa-apa di sana. Ruangan itu kosong.
"Ada apa ini?"
"Penagih utang. Datang lagi. Bawa mobil. Barang-barang Mas Diaz ... dibawa semua. Bapak juga."
Azka bercerita dengan nada datar tanpa memandangku. Air matanya berhenti sebentar di dagunya, lalu menetes di atas lantai. Ada cukup banyak tetesan air di depan kakinya.
"Di mana Alin?"
Azka menggeleng.
Sialan. Apa dia pulang tanpa menungguku? Bisa gawat kalau dia keluar dengan kaki begitu sendirian.
"Azka, kita harus pergi dari sini sebelum—"
Terdengar suara tembakan disertai teriakan. Dilanjutkan dengan suara pintu didobrak. Aku menarik Azka ke dalam kamar Mas Diaz dan menutup pintu. Sebanyak dua sampai tiga pasang langkah kaki mendekat. Semakin lama semakin jelas. Setelah itu, ada suara seseorang yang membuat jantungku serasa berhenti.
"Kalian periksa rumah yang lain. Tembak siapa pun yang melawan."
Suara Isnan.
"Tapi Pak, kalau begini terus bakal banyak warga yang jadi korban," ucap seorang rekannya.
"Semua warga desa ini adalah anggota geng Dinamo. Mereka melindungi pembunuh dan pemerkosa. Kalau kalian tidak menyerang, kalian yang akan diserang! Paham?!"
"Siap! Paham!"
"Pergilah," perintah Isnan. "Aku bisa mengatasi ini sendirian."
Beberapa langkah kaki berlari menjauh. Namun, pikiranku masih diliputi perasaan mencekam.
Tiga kali ketukan pintu terdengar. "Per-mi-si ...."
Perlahan-lahan pintu dibuka. Pertama moncong pistol yang kulihat, lalu lambat laun aku pun melihat pemegangnya.
"Hei, kita bertemu lagi," ucap Isnan sambil tersenyum. "Bukannya sudah kuminta kalian untuk menjauh dari sini?"
"Saya ke sini cuma mau mengantar Azka pulang," jawabku. "Saya tidak mengira Bapak bakal datang ... s-secepat ini."
Pandanganku tak bisa beralih dari moncong pistol yang diarahkan padaku. Isnan mendekatiku sambil mendengus-dengus.
"Cuma mengantar pulang, ya? Tapi aku mencium bau petualangan di sini." Ia menuding noda-noda bekas sampah yang masih menempel di jaketku dengan pistolnya. Saat pistolnya menekan dadaku, aku menahan napas.
"Itu gara-gara terpeleset ke tempat sampah tadi."
"Uh-huh," Isnan menatapku sebentar, lalu meringis. "Kenapa napasmu seperti orang habis lari-lari? Santai saja. Dan—oh, ada bekas oli di lengan dan bahu jaketmu. Apa ini juga gara-gara jatuh ke tempat sampah juga?"
Keringat dingin membasahi pipi dan telapak tanganku. Pikiranku berputar-putar. Jangan-jangan Isnan melihat mukaku saat di bengkel tadi. Jangan-jangan Isnan memergokiku saat berjalan di atas genting. Jangan-jangan Isnan melihatku terjatuh di bekas tambak. Jangan-jangan—
Santai, Grey. Jangan panik. Coba pikir lagi. Kalau Isnan memang tahu, dia pasti bakal langsung menangkapku. Ini hanya trik psikologis yang membuatnya terlihat seolah-olah tahu sesuatu. Bapakku bilang ini adalah salah satu cara polisi untuk membuat penjahat mengaku. Salah bicara sedikit saja bisa fatal. Dalam situasi begini, pilihan terbaik adalah diam.
Isnan mengernyitkan dahi, lalu tertawa terbahak-bahak sambil menjauhkan pistolnya dari tubuhku. Azka berlindung di balik punggungku dan memelukku erat-erat. Tubuhnya gemetar hebat.
Polisi itu menyeka air mata yang keluar akibat tertawa. "Maaf, aku sudah kelewatan. Kasus ini membuatku agak bernafsu. Lagi pula, mana mungkin anak baik-baik dari Kidul Pasar kenal dengan pentolan geng Dinamo, apalagi membantunya kabur."
Isnan tersenyum padaku.
Aku menahan napas.
"Kudengar ini kamar Diaz, tapi ke mana barang-barangnya?" Isnan mengalihkan perhatiannya ke sekeliling ruangan.
"Tadi penagih utang datang dan menyita semuanya," jawabku. Kuberi tahu ciri-ciri mereka.
"Oke, akan kuingat," katanya. "Jangan keluar rumah sebelum polisi memberi sinyal ya. Tenang saja. Ini takkan lama."
Isnan berjalan menjauh. Saat ia hendak membuka pintu, ia berbalik ke arahku.
"Sampai jumpa, Grey Ismaya."
Aku tersentak.
Kapan aku pernah memberitahu dia nama lengkapku?
Polisi dengan codet mirip kail pancing itu menutup pintu. Suara langkah kakinya lambat laun melemah.
Aku jatuh terduduk. Kakiku tak kuasa menopang berat tubuhku. Tenagaku melemah. Setengah karena takut, setengah karena lelah. Aku sudah meremehkannya. Isnan begitu tajam. Kurasa dia memang tahu sesuatu, tapi sengaja memberiku kesempatan. Di balik kata-katanya tadi, seolah-olah ia ingin memperingatkan agar aku tak berani main-main dengannya lain kali.
***
A/N: Thanks for waiting! Silakan vomment kalau berkenan! ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. I Project: Devil Must Die
Mystery / Thriller[Pemenang Watty Awards 2019 Kategori Mystery & Thriller] Orang bilang Klub Jurnalistik dijuluki "Klub Jurik" karena ruangannya berhantu. Kalau itu benar, sebagai anggota "gaib", aku adalah salah satu hantunya. Namaku Grey. Aku harus mencegah pembub...