Aku pulang, mengambil beberapa perlengkapan, lalu mengeluarkan Ranger. Bermodalkan tas pinggang, jas hujan kelelawar, dan 'sedikit' kenekatan, kukayuh sepedaku kuat-kuat menerobos derasnya hujan.
Lokasi yang Mas Diaz kirimkan tak begitu jauh dari rumahku. Kalau tidak ada angin kencang dan jalanan tidak banjir, aku pasti bisa tiba di sana sekitar sepuluh hingga lima belas menit.
Di dalam tas pinggang, kubawa senter, pentungan yang bisa dipanjang-pendekkan, dan pistol air. Senter sebagai penerangan, pentungan sebagai senjata jarak dekat, sedangkan pistol agar membuatku terlihat keren. Sebenarnya aku cuma mengisinya dengan air cabai, tapi bentuknya mirip pistol sungguhan. Siapa tahu bisa menakut-nakuti lawan. Meski begitu, kuharap aku tak harus melawan siapa-siapa.
Yang kulakukan saat ini sungguh berlawanan dengan prinsipku. Benar-benar merepotkan. Kalau ternyata Alin baik-baik saja, bakal kuhajar Mas Diaz nanti. Bukannya aku berharap Alin kenapa-kenapa, tapi kalau ternyata semuanya hanya lelucon, ini sama sekali tidak lucu.
Akan tetapi, bila Alin memang dalam bahaya, apa yang harus kulakukan? Sial, aku tak mau memikirkannya, tapi bayangan mayat Kak Ratna terus menghantui pikiranku.
Aku tak bisa tidur dengan tenang sebelum memastikannya sendiri.
Tiga persimpangan lagi aku tiba di Jalan Kamboja. Malam makin kelam. Di kanan kiriku sawah, sedangkan beberapa meter di depanku adalah kuburan. Gelap. Satu-satunya penerangan adalah lampu sorot bertenaga dinamo sepedaku.
Setelah melalui kuburan, aku tiba di sebuah perempatan jalan setapak. Pada salah satu cabang jalan, lampu Ranger menangkap dua sosok manusia tengah berlari menuju kemari.
Begitu mereka tiba tepat di depanku, salah satunya merentangkan tangan-memberikan aba-aba untuk menghentikanku. Aku pun berhenti di bawah lampu jalan. Penampilan keduanya mirip preman. Yang satu cowok kekar berambut pirang—atau disemir pirang, warnanya tampak luntur karena hujan—sedangkan orang yang menghentikanku memakai topi kupluk. Wajahnya lonjong mirip keledai.
"Bro, ente lihat cewek, rambutnya panjang, pakai topi dan jaket parka cokelat lewat sini?" tanya cowok bertopi kupluk sambil mengatur napasnya.
Kujawab tidak tahu.
"Kau serius dia tadi lewat sini?" tanya si pirang luntur pada rekannya.
"Sumpah, Bos! Buat apa ane bohong?" ujar si kupluk membela diri.
Si pirang luntur mengumpat sekali. "Kau lewat sana, aku lewat sini. Aku nggak mau tahu pokoknya cari dia sampai ketemu!"
Si pirang berlari ke kanan, si kupluk berlari ke kiri. Setelah mereka tak terlihat lagi, aku berubah pikiran. Aku tak lagi ingin cepat-cepat ke Jalan Kamboja. Kuambil senter dari tas pinggang. Kutuntun sepedaku dengan hati-hati. Kulewati jalan setapak yang orang-orang tadi lalui sebelum berpencar. Kusoroti lubang-lubang, ceruk-ceruk, dan jejak-jejak di atas tanah hingga sampai di sebuah kompleks perumahan.
Hujan sudah tak sederas sebelumnya. Namun, genangan dan aliran air di jalan membuatku sulit menemukan petunjuk mengenai sosok yang mereka kejar.
Kemudian, tepat di bawah kakiku, aku menemukan benda yang familiar. Sebuah pita biru dengan manik-manik yang biasa Alin gunakan.
Kuarahkan senterku ke sekeliling benda yang kutemukan. Samar-samar, kulihat jejak-jejak sepatu yang nyaris terhapus oleh air hujan. Lalu di bibir selokan, tampak beberapa titik noda berwarna merah. Mungkin itu hanya saus tomat, atau selai stroberi. Aku tak mau berpikir bahwa itu adalah darah manusia.
Bercak-bercak merah itu menuntunku ke sebuah lorong sempit di antara dua dinding rumah bertingkat. Perasaanku makin tidak enak. Kutinggalkan Ranger di mulut gang, lalu kuambil pistolku. Aku memasuki lorong sambil mengendap-endap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. I Project: Devil Must Die
Mystery / Thriller[Pemenang Watty Awards 2019 Kategori Mystery & Thriller] Orang bilang Klub Jurnalistik dijuluki "Klub Jurik" karena ruangannya berhantu. Kalau itu benar, sebagai anggota "gaib", aku adalah salah satu hantunya. Namaku Grey. Aku harus mencegah pembub...