Pukul enam pagi, aku terbangun. Kuperiksa ponselku. Gila. Ada 49 pemberitahuan chat dan 22 panggilan tak terjawab. Semuanya dari Alin. Sebagian besar pesan chat-nya memakai huruf kapital. Isinya antara, "GREY, BACA!", "GREY BANGUN!", stiker orang marah-marah, atau kombinasi ketiganya.
Aku memeriksa pesan-pesan Alin saat aku tertidur semalam. Salah satu pesannya berkata,
Alin: Kita ketemu besok pagi jam 6 di belakang stadion GM, JANGAN TELAT!
"Astaghfirullah."
Pesan itu dikirimkan pada pukul 22.05, saat aku telah terlelap. Aku buru-buru mengirim permintaan maaf pada Alin, lalu bergegas ke kamar mandi.
Tapi kenapa di belakang stadion?
Selesai mandi, aku langsung memakai seragam putih abu-abu dan berpamitan pada ibuku.
"Enggak sarapan dulu?" tanya Ibu. "Masih pagi lho ini."
"Nanti Grey sarapan di sekolah," kataku sambil mencium tangannya. "Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam—eh! Pecel lelemu semalam belum dimakan, 'kan? Bawa saja. Nanti mubazir lho."
Aku pun menurut.
Setelah memasukkan bekal ke dalam tas, aku lantas mengambil Ranger. Kukayuh sepedaku menuju ke stadion GM. GM adalah singkatan dari Gondo Mayit, letaknya di samping sekolahku. Maaf, aku tak bisa menjelaskan banyak-banyak. Aku sedang buru-buru.
Aku tiba di sana sekitar pukul setengah tujuh. Alin sudah menunggu di belakang stadion sambil menyilangkan tangan di dada. Mukanya masam.
"Maaf," ucapku. Napasku masih terengah-engah. "Aku baru baca chat-mu pas bangun tidur."
Alin membuang muka. "Terserah. Mana kameraku?"
Kuberikan tas kamera beserta isinya pada Alin. Sementara Alin memeriksa kameranya, aku memandang sekeliling. Di kananku ada dinding stadion yang menjulang tinggi. Di belakangku ada pilar penyangga atap, begitu pula di belakang Alin. Sementara itu, beberapa meter di sebelah kiriku terdapat dinding pembatas sekolah kami. Dengan kata lain, kami berada di lorong sempit nan terpencil di antara dua bangunan. Hanya berdua.
Kalau cewek lain yang mengundangku ke sini, mungkin aku bakal mengira dia ingin menyatakan cinta padaku. Namun, karena Alin yang mengundangku, menyatakan cinta adalah hal terakhir yang ada di pikiranku.
Lalu kenapa dia mengundangku kemari? Kalau cuma mengembalikan kamera, bukannya di sekolah juga bisa?
Alin menggantungkan kameranya pada paku yang mencuat di dinding stadion. Ia mengatur posisi kameranya sebentar, mengarahkannya padaku, lalu ia meninggalkan kameranya dan mendekatiku.
Setelah kuamati baik-baik, ia tak memakai riasan yang biasanya. Rambutnya dibiarkan terurai tanpa pita. Cabang-cabang rambutnya mencuat di sana-sini dan poninya nyaris menutupi kedua matanya. Kedua matanya bengkak. Kantung matanya lebih gelap daripada biasanya. Seolah-olah ia baru saja menangis semalaman. Selain itu, pipi kirinya tampak lebam seperti habis ditampar. Apa dia bertengkar dengan ayahnya tadi malam?
"Kamu nggak mengotak-atik isi kameraku, 'kan?" tanyanya sambil menatapku curiga.
"Kalau aku bilang tidak, apa kau akan percaya?"
"Entahlah," ucapnya pasrah. "Aku udah nggak peduli lagi."
Sepertinya dia tahu aku sudah membukanya, atau dia hanya tak percaya padaku.
Alin membuka satu kancing bajunya dari atas, kemudian maju satu langkah. Jarak wajah kami kurang dari lima senti. Otomatis aku mundur selangkah.
"Tapi apapun yang kamu lihat, jangan bilang siapa-siapa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. I Project: Devil Must Die
Mystery / Thriller[Pemenang Watty Awards 2019 Kategori Mystery & Thriller] Orang bilang Klub Jurnalistik dijuluki "Klub Jurik" karena ruangannya berhantu. Kalau itu benar, sebagai anggota "gaib", aku adalah salah satu hantunya. Namaku Grey. Aku harus mencegah pembub...