Bagian 22: Tujuh Tersangka

2.2K 540 44
                                    

Apabila dilihat lebih cermat, foto itu jelas hanya rekayasa. Mungkin pelakunya mencari gambar secara acak dari internet lalu menempelkan tampang Red dengan aplikasi Sotoshop.

Sesaat kemudian, Ivan datang bersama seorang guru wanita bertubuh gendut dengan potongan bob. Dia Bu Linda, guru Bahasa Indonesiaku. Rambutnya mirip tokoh utama kartun Dora The Explorer. Karena itu, anak-anak sering menyebutnya Bu Dora.

"Ada ribut-ribut apa ini?" tanya Bu Dora.

"Eh, Bu Linda," ucap Red sambil tersenyum. Namun, senyumannya langsung hilang begitu melihat Ivan.

"Apa ada yang menjahili Alin?" tanya Ivan.

"Malah nanya. Kakak punya mata, 'kan?" sahut Red sinis.

Ivan tersenyum menahan kesal.

Bu Dora turut memeriksa barang-barang di tanganku. "Siapa di antara kalian yang melakukan hal memalukan ini?"

Semuanya hening. Siapa juga yang mau mengaku.

"Pelakunya pasti anak klub Drama," tukas Feli. "Mereka memakai ruangan ini saat kami main di panggung."

"Hah? Jangan asal nuduh dong!" bentak seorang cewek bersanggul dan berkebaya. Sepertinya dia kakak kelas. Aku tak pernah melihatnya.

Cewek-cewek berkostum lainnya pun turut memprotes, termasuk Lilis. Rupanya dia anak klub Drama juga.

Red menoleh pada Bu Dora. "Bu, izinkan saya untuk mencari pelakunya. Dia pasti masih di sekitar sini."

"Siapa kamu?" tanya Bu Dora.

"Mahesa Aruna," jawab Red sambil menunjukkan kartu persnya.

"Oh," Bu Dora bersedekap. Matanya tampak memandang remeh. "Terserah. Anak klub Drama yang mau pentas cepat naik ke panggung!"

"Tunggu!" cegah Red sebelum Bu Dora pergi. "Bisakah Ibu menunda pentasnya sebentar? Saya butuh anak-anak klub Drama dalam penyelidikan ini."

Bu Dora melotot. "Kamu pikir jadwalnya bisa diubah begitu saja? Kalau kamu butuh mereka, tunggu sampai pentasnya selesai."

"Tapi semakin lama kita menunggu, semakin kecil peluang kita untuk menangkap pelakunya—Hei! Tidak boleh ada yang keluar dari ruangan ini sebelum pelakunya ketemu!" bentak Red pada dua gadis berkostum hewan yang hendak menyelinap keluar.

Bu Dora menghela napas. "Nanti biar Ibu bilang pada BK untuk menyelesaikan masalah ini. Apa itu cukup?"

"BK? Kapan mereka pernah menyelesaikan masalah? Sejak awal masuk sini Alin sudah sering mendapat perlakuan begini tapi mereka tak berbuat apa-apa. Ibu lihat sendiri, 'kan?" Red merebut amplop berisi foto mayat itu dari tangan Bu Dora. "Ini bukan lagi kasus bullying biasa! Ini adalah teror!"

Bu Dora tak menyahut. Ia tetap menyuruh para cewek berkostum untuk cepat-cepat ke panggung.

Red menoleh pada Ivan. "Kak! Bilang sesuatu dong! Kakak pacar Alin bukan sih?!"

Saat Ivan baru membuka mulut, Roy datang.

"Ah, kebetulan Bapak di sini," kata Bu Dora. "Tolong urus anak-anak bermasalah itu. Mereka bimbingan Bapak, 'kan?"

Roy memandang ke arah kami sejenak, lalu tersenyum. "Kenapa Ibu tak memberinya kesempatan saja?"

"Sudah saya bilang dia bisa menunggu sampai pentasnya selesai."

"Tidak bisa begitu dong!" protes Red.

"Begini saja," ucap Roy, "nanti saya bilang pada panitia KTS untuk menggeser jadwal pentas klub Drama."

Mr. I Project: Devil Must DieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang