"Dibunuh?"
Aku mengernyitkan dahi setengah tak percaya.
"Duh, Grey, kamu nggak pernah baca koran apa?" ujarnya sebal. Ia lalu menggeledah salah satu kardus berisi tumpukan koran, dan menyerahkan salah satu koran bekas padaku. Edisi November tahun lalu. Di salah satu kolomnya tertulis berita bertajuk, "Sesosok Mayat Perempuan Ditemukan di Bantaran Kali Gandulan. Diduga Korban Pemerkosaan."
Ratna Oktaviana, 16 tahun. Siswa SMA 1 Petanjungan. Menghilang pada pertengahan November. Ditemukan tak bernyawa seminggu kemudian. Ada tanda-tanda kekerasan seksual sebelum dibunuh. Pakaiannya terkoyak. Tubuhnya penuh dengan bekas luka cambuk dan luka sayatan.
"Sampai sekarang pelakunya belum ditemukan," kata Alin. "Anehnya, nggak ada pemberitaan yang besar tentang kasus itu. Jangankan masuk TV nasional, di koran aja beritanya cuma kebagian kolom kecil. Entah kebetulan atau bukan, lawan Kak Ivan dalam pemilos tahun ini adalah mantan pacar Kak Ratna."
Alin menunjukkan artikel yang sedang ia ketik di laptopnya. Judulnya: "Jadi Kandidat Nomor Satu, Rendy Yakin Bisa Menang." Di bawahnya ada foto seorang cowok bermuka polos dan kalem. Potongannya rapi, dan senyumannya membentuk lesung pipit. Sepertinya ia tipe cowok yang mudah populer.
"Rendy Prakoso," ujarku melafalkan namanya. "Terdengar tak asing."
"Dia putra sulung Suryo Prakoso, pemilik pabrik industri tekstil terbesar di kota ini," tukas Alin. "Kayaknya nggak ada yang heran saat dia nyalon jadi ketua OSIS. Dia sangat terkenal dan disukai banyak orang. Tapi menurut catatan kepolisian, Kak Rendy adalah orang terakhir yang melihat Kak Ratna masih hidup. Dia sempat jadi tersangka, tapi dibebaskan dari tuduhan karena bukti yang tidak cukup." Ia menghela napas sejenak. "Yang bikin aku heran, setelah itu, ayahku yang tadinya memimpin penyelidikan kasus ini digantikan oleh orang lain."
Aku menggaruk-garuk kepalaku. "Apa yang sebenarnya sedang terjadi di sekolah ini?"
"Entahlah," sahut Alin. "Tapi intuisiku bilang membiarkan klub Jurik dibubarkan adalah ide buruk."
"Intuisi cewek?" cibirku.
"Intuisiku nggak pernah salah, tahu!" Alin menggembungkan pipinya. "Anyway, kasus Kak Ratna membuktikan bahwa ada iblis berwujud manusia di sekitar kita. Kalau polisi nggak bisa menangkapnya, biar aku yang membongkar kedoknya. Kalau perlu biar seluruh dunia tahu."
"Bukannya aku tak menghargai ambisimu," kataku. "Tapi dunia tak sebaik yang kaupikirkan, tahu."
"Terus kenapa? Orang-orang boleh bilang apapun tentangku, tapi hukum tetap harus ditegakkan." Mata Alin menoleh ke arah tas kresek berisi pakaiannya yang berlumuran darah. "Lagipula penghinaan yang kualami nggak sepadan dengan penderitaan yang dialami Kak Ratna."
Aku salut sekaligus ngeri dengan ucapan gadis ini. Kelihatannya dia tidak main-main ingin menangkap 'iblis' yang ia katakan. Namun lagi-lagi ia salah paham dengan ucapanku. Dia tak peduli walau dihina? Oke. Masalahnya, kalau 'iblis' itu bisa melakukan hal keji itu pada Kak Ratna, siapa yang bisa menjamin bahwa dia atau mereka takkan melakukan hal yang sama pada Alin?
"Kau tak berpikir untuk menyelesaikan masalah itu sendirian, 'kan?"
Alin hanya tersenyum tipis mendengar pertanyaanku. Lalu pandangannya beralih ke arah jendela. "Eca! Aku tahu kamu di luar. Nggak usah ngintip-ngintip! Masuk!"
Seorang cowok kurus berkacamata dengan tinggi sekitar 160 senti memasuki ruangan sambil cengar-cengir. Rambutnya klimis mengilap. Sepertinya ia terlalu banyak memakai minyak rambut bapaknya.
"Kamu ke mana aja sih? Di-chat nggak bales-bales!" bentak Alin pada cowok yang baru datang.
"Maaf. Printer-nya ngantri tadi." Ia lalu menoleh padaku. "Grey?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. I Project: Devil Must Die
Mystery / Thriller[Pemenang Watty Awards 2019 Kategori Mystery & Thriller] Orang bilang Klub Jurnalistik dijuluki "Klub Jurik" karena ruangannya berhantu. Kalau itu benar, sebagai anggota "gaib", aku adalah salah satu hantunya. Namaku Grey. Aku harus mencegah pembub...