Usai menitipkan jaket Alin di tempat pencucian, aku pun pulang. Belum ada tanda-tanda pergerakan massa di utara. Sepertinya Deni Dongkrak cukup baik dalam melakukan pekerjaannya.
Akan tetapi, hal itu tak berlangsung lama. Menjelang maghrib, media sosialku ramai oleh kabar tentang berkumpulnya para warga desa Balongan di sekitar pasar loak. Sejauh ini belum ada berita tentang pelemparan petasan atau tindakan anarkis lainnya. Meski begitu, aku tak merasa lega sedikit pun. Aku mulai kehabisan waktu.
"Halo, Red, di mana kau sekarang?" tanyaku lewat telepon.
"Di rumah, kenapa?"
"Malam ini tolong jangan ke mana-mana. Katakan itu pada Alin juga."
"Grey, aku sudah melakukan perintahmu sejak kemarin-kemarin, tapi apa yang sebenarnya kaurencanakan?"
"Kau akan segera tahu. Saat ini, kau cukup jaga Alin baik-baik. Apa itu sulit?"
"Bukan begitu, tapi—"
"Red, kita teman, 'kan?"
"...."
"Red?"
"Oke."
Kukatakan hal yang sama pada Alin. Lalu kusuruh Poppy menunggu di minimarket yang tak jauh dari kafe Re:Noir.
Setelah mandi, berganti baju, dan membawa beberapa perlengkapan, aku bertemu Poppy sekitar pukul setengah tujuh malam. Ia datang dengan diantarkan oleh limosin hitam. Setelah berpamitan dengan sopirnya, ia melambaikan tangan padaku dan berkata,
"Kenapa enggak nyuruh aku jemput kamu aja?"
"Aku suka jalan-jalan," balasku. Kuamati penampilannya dari atas ke bawah. Kedua kucirnya jatuh di kanan-kiri kepalanya mirip telinga kelinci yang sedang tiduran. Ia memakai baju hitam lengan panjang, rok mini sepuluh senti di atas lutut, dan kaus kaki hitam. Ada yang lain di wajahnya. Ia memakai kacamata. Aku tahu karena selain bingkainya besar, ia juga terus memain-mainkannya di depanku.
"Aku baru tahu kau rabun jauh," ucapku.
"Ya, biasanya aku pakai lensa kontak. Tapi aku lupa di mana naruhnya."
Oh, lensa kontak aneh yang membuat matanya berbeda warna ya?
"Gimana? Hmm?" tanya Poppy. Dari caranya mengedip-ngedipkan mata lentiknya, aku bisa mendengar pikirannya mengatakan, "Aku imut enggak?"
"Ah, ya, kau sangat imut. Semoga kau jadi anggota JKT48 dan pergi dari kota ini sehingga aku tak perlu melihatmu lagi."
"Ha? Ih, Grey jahat!"
Kubiarkan Poppy mencubit-cubit lenganku dan kutanya, "Di mana kakakmu?"
"Kak Rendy lagi party sama teman-temannya di gunung," ucapnya sok polos.
"Maksudku Kak Jerry."
"Kak Jerry masih ada kerjaan. Kan kata kamu janjinya jam tujuh."
Aku melirik ke arah beberapa cewek yang nongkrong di depan minimarket. Ada blazer merah muda di jok motor mereka. Feli bilang bakal ada anggotanya yang mangkal di sini dan beberapa titik lain di sekitar kafe. Tampaknya mereka sudah datang.
"Ayo pergi," ajakku.
Kami melewati gang gelap di samping minimarket. Kulalui sekitar delapan tikungan untuk sampai ke tempat tujuan kami. Setibanya di depan kafe, Poppy berkomentar.
"Kalau sejak awal aku tahu kamu bakal bawa aku ke sini, kita enggak perlu muter-muter kayak tadi."
"Kalau sejak awal kuberitahu kau lokasi pertemuannya, aku tak tahu perangkap apa yang bakal kausiapkan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. I Project: Devil Must Die
Mystery / Thriller[Pemenang Watty Awards 2019 Kategori Mystery & Thriller] Orang bilang Klub Jurnalistik dijuluki "Klub Jurik" karena ruangannya berhantu. Kalau itu benar, sebagai anggota "gaib", aku adalah salah satu hantunya. Namaku Grey. Aku harus mencegah pembub...