Azka dan dua orang cewek memaki-maki Jerry tanpa henti. Salah satunya adalah cewek bersyal cokelat anggota Pink Blazer. Mereka memukul, menampar, dan mencambuk Jerry dengan ikat pinggang. Setiap menerima siksaan, tubuh Jerry berayun pelan di bawah tali yang mengikatnya. Cowok itu bergeming tanpa perlawanan.
"Kembalikan Mas Diaz!" bentak Azka.
"Di mana kalian menyembunyikan Kak Feli? Hah?!" seru syal cokelat.
"Dasar pembunuh!"
"Penculik!"
"Pemerkosa!"
Jerry tetap bungkam meskipun cewek-cewek itu terus memakinya. Saat Azka hendak mencambuknya lagi, aku segera menghentikannya.
"Lepas!" perintah Azka.
"Tidak akan," balasku.
"Aku udah bilang jangan ada yang boleh masuk selama aku menginterogasi bajingan ini!"
"Menginterogasi, katamu? Kalian cuma menggunakan Kak Jerry untuk melampiaskan amarah! Azka, kaupikir dengan menyiksanya Mas Diaz bakal kembali?" tanyaku.
"Emangnya kamu siapa berani bentak-bentak aku, hah?!"
"Oh, kau bahkan lupa dengan suaraku?" Kulepaskan rambut palsuku. Azka masih tampak bingung pada awalnya. Lama kelamaan, ia pun sadar.
"Mas ... Grey?" Suaranya melembut. Sempat kulihat senyum tipisnya, tetapi tiba-tiba ia membentak, "Pergi! Mas itu cuma pendatang. Masih aja ikut campur urusan kami!"
"Ya, aku memang pendatang. Terus kenapa? Apa membantu orang perlu melihat dari mana asalnya?"
"Membantu? Heh. Jangan sok akrab, Mas. Kalian orang Selatan cuma mau merampas tanah dan kekayaan kami."
"Menurutmu semua orang Selatan begitu? Kau bilang jangan sok akrab, tapi tak memberiku kesempatan agar kita bisa kenal lebih dekat. Lalu apa bedanya kau dengan Isnan?"
Azka terdiam. Perlahan air keluar dari matanya tatkala tubuhnya mendekatiku. Kupikir ia hendak memelukku. Ternyata ia malah mendorongku sekuat tenaga dan berlari keluar ruangan.
Aku memang penghibur yang payah.
Suasana menjadi hening. Mataku silih berganti mengamati wajah letih Jerry, ekspresi bingung kedua anggota Pink Blazer, dan raut muka syok sang putri polisi yang masih tampak kesulitan mencerna situasi yang baru saja terjadi.
"Bisakah kalian keluar sebentar?" pintaku. "Aku mau mengobrol berdua saja dengan Kak Jerry."
Mereka keluar tanpa banyak mengeluh. Setelah kukunci pintunya dengan grendel, aku kembali menghadap Jerry.
"Situasi kita berbalik, heh?"
Jerry yang pertama membuka suara. Pipinya tampak bengkak dan lebam. Kurasa cewek-cewek tadi tak mungkin membuat luka tonjok sebesar itu.
"Apa yang terjadi setelah aku kabur dari kafe?" tanyaku.
"Entahlah. Deni menghajarku sampai pingsan. Lalu tahu-tahu aku ada di sini."
"Begitu ya?" Aku beruntung Deni ada di pihakku waktu itu.
"Di mana pria besar itu sekarang?"
"Wafat. Polisi menembaknya."
"Oh. Padahal aku mau menantangnya lagi," ujarnya lemah. Sosok garang pemarah yang kulihat sebelumnya seolah sirna dari wajahnya. Ia tampak sendu. "Silakan tertawa. Kau ke sini untuk balas dendam, 'kan?"
"Aku tak punya waktu untuk omong kosong semacam itu," ucapku. "Aku mau tanya sesuatu yang mungkin Kakak tahu."
"Apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. I Project: Devil Must Die
Mystery / Thriller[Pemenang Watty Awards 2019 Kategori Mystery & Thriller] Orang bilang Klub Jurnalistik dijuluki "Klub Jurik" karena ruangannya berhantu. Kalau itu benar, sebagai anggota "gaib", aku adalah salah satu hantunya. Namaku Grey. Aku harus mencegah pembub...