Chapter 11 : Rindu.

37 12 15
                                        

Malam yang sedikit tidak bersahabat, turunnya hujan di malam hari membuat pemandangan bintang tak terlihat. Namun hujan pun memiliki keindahan tersendiri yang tak kalah dari bintang-bintang. Air hujan yang memiliki makna dan dapat mengalirkan banyak perasaan orang-orang.

Minggu, 11 Januari 2010.

"Huft besok sudah masuk semester terakhirku disekolah." Ucap Dinka yang duduk di bangku teras meratapi rintikan hujan yang turun.

"Kakak bergumam sendirian lagi ya." Tegur Kisya yang tiba.

"Tidak, kakak hanya ingin mengeluh sedikit saja." Ucap Dinka santai.

Kisya yang berdiri pun ikut duduk di bangku tepat disebelah Dinka.

"Aku belum menawarkan duduk." Ucap Dinka dengan wajah datar.

"Aku tak peduli wlee, lagi bangku dirumah ini bukan punyamu." Ucap Kisya sembari mengayunkan kakinya.

"Kau tak kedinginan?" Tanya Dinka yang memperhatikan kaki Kisya yang tidak dibalut apapun karena memakai celana pendek sedengkul.

"Aku tidak seperti kakak yang tidak kuat dingin." Jawab Kisya spontan.

"Huft iya iya." Hela Dinka.

"Apa kakak yakin?" Tanya Kisya.

"Yakin apa?" Tanya balik Dinka.

"Meninggalkan adik terimut mu." Ucap Kisya dengan wajah sedikit murung.

"Aku tidak akan meninggalkanmu, tapi aku harus pergi." Ucap Dinka.

"Apa bedanya meninggalkan dan kamu pergi kak? Bukan kah kakak yang pergi itu sama saja meninggalkan?" Tanya Kisya dengan mata membendung air yang sangat berharga bagi Dinka.

"Aku pergi bukan berarti meninggalkan." Ucap Dinka sembari meraih kepala Kisya dan mendekapnya di dadanya.

"Kakak?" Gumam Kisya meneteskan air mata pertamanya yang telah ia tahan saat itu.

"Aku hanya pergi dan pasti akan kembali, sedangkan meninggalkan berarti kau pergi tidak pernah kembali." Ucap Dinka mengusap kepala adiknya yang menutup wajahnya di dada Dinka.

"Aku ikut ya kak?" Ucap Kisya yang sedikit tersenggak karena menahan tangis.

"Air hujannya deras ya? Pantas saja suara dari orang yang kusayang tak terdengar." Ucap Dinka.

"........" Kisya pun menangis dan sebenarnya Dinka sudah tahu maka dari itu dia mengumpatkan wajah adiknya di dadanya karena tak ingin adiknya malu karena kakaknya melihatnya.

"Kisya boleh ikut." Ucap seseorang dari pintu, suara yang sangat tidak asing.

"Hmm?" Gumam Dinka menatap orang itu.

"Iya, ayah mengizinkan kalian berdua tinggal di ibukota." Ucap orang itu tak lain ayah Dinka.

"Hemm? Benar yah?" Tanya Kisya yang menarik dirinya dan mengelap matanya.

"Iya, bunda sudah memohon ke ayah supaya kalian berdua tidak dipisahkan." Ucap ayah.

"Tapi?" Tanya Kisya.

"Ayah dan bunda akan berdua saja tidak apa. Tapi sesuai rencana awal, ayah akan ke Jepang selama 3 tahun dan bunda akan ikut. Jadi tidak ada yang di desa dan kita tidak benar-benar berpisah karena kita berpasangan, kamu tahu apa ucapan bunda? Ia bilang agar tidak ada yang kesepian dan sedih karena kesendirian di keluarga ini." Ucap ayah tersenyum

"Tapi bukan kah lebih baik Kisya ikut ayah ke Jepang?" Tany Dinka.

"Kamu membiarkan dirimu sendirian dan membiarkan adikmu meninggalkanmu, itu 2 kesalahan yang akan kamu perbuat kalau Kisya ikut ayah dan bunda." Ucap bunda yang datang ikut bergabung kepercakapan keluarga kecil ini.

Air dan MinyakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang