Chapter 19 : Aku Tak Peduli

42 11 6
                                    

Selasa, 11 September 2012.

Tepat sekali, kini hanya ada sebuah kegelisahan dan pikiran-pikiran negative yang terus terlintas di benak Dinka.

Dirinya semakin sering melamun, dan bahkan ia mengabaikan semua tugas kulaih dan bahkan tidak berangkat bekerja paruh waktunya.

Aniria yang sudah paham betul, ia selalu mendekati dan merayu Dinka agar melupakan kesedihannya dan kembali semangat. Memang susah dan agak mustahil, terdengar egois karena disaat orang bersedih kau menyuruhnya jangan bersedih, orang tersebut pun tidak ingin tenggelam dalam kesedihan namun kehidupan itulah yang membuat dia bersedih.

Kisya yang sudah kesal dan bahkan mulai tak peduli dengan kakaknya, Dinka. Ia hanya mengikuti waktu dan alur yang berjalan dengan sendirinya. Iniki yang sudah mulai tinggal di rumah Dinka berada, ia hanya menghabiskan waktu di depan komputernya. Memang itulah pekerjaannya selain menjadi ketua geng.

Kringg! Kringg! Suara telepon rumah pun membuat suasana hening menjadi pecah seketika.

"Haloo?," ucap Aniria yang mengangkat telepon. "Apa benar ini telepon kediaman Dinka?," ucap seorang perempuan dari sebrang telepon sana.

Aniria pun melirik Dinka yang duduk termenung di depan TV dan beralih ke Iniki yang tak peduli siapa yang menelpon tetap fokus dengan komputernya.

"Iya ini dari kediaman Dinka," jawab Aniria. "Syukurlah jika benar, apa aku bisa berbicara dengannya?," tanya perempuan tersebut.

"Bukankah lebih sopan jika dirimu memperkenalkan diri terlebih dahulu?," ucap Aniria. "Ohh iya, maaf maaf. Aku Harumi." Jawab perempuan tersebut.

"Yasudah sebentar! Akan kupanggilkan Dinka," ucap Aniria yang langsung menghampiri Dinka dan membisikan bahwa ada yang menelpon untuknya.

"Harumi?," tanya Dinka. "Iya, kau kenal?," tanya Aniria. "Bilang aku sedang sibuk atau tidur!," ucap Dinka. "Kenapa?," tanya balik Aniria. "Pentingkah untuk ku jawab?," ucap Dinka. "Iya iya," jawab Aniria yang langsung beranjak ke tempat telepon lagi.

"Ia sedang sibuk katanya," ucap Aniria d telepon. "Oumm, begitu ya?, ohh iya apa kamu yang namanya Aniria?," tanya Harumi perempuan di telepon.

"Iya itu namaku, ada apa ya?," tanya Aniria.

Klakk! Iniki yang tiba-tiba berada di samping Aniria langsung merampas telepon dari tangan Aniria.

"Apa kau ingin lebih cepat merasakan penderitaan?," tanya Iniki. "Maaf, aku tak ada maksud buruk." Jawab Harumi.

"Lebih baik kau beritahu priamu yang bernama Imon itu, bahwa perusahaannya kini diambang kehancuran karena masalah yang muncul, masalah yang di dapat dari seorang programmernya." Ucap Iniki. "Apa maksudmu hah?, apa kau---". Suara Harumi terputus karena Iniki langsung menutup teleponnya.

"Dia Ridia, nama lengkapnya Ridia Harumi," ucap Iniki ke Aniria. "Maaf aku baru tahu," ucap Aniria. "Terlalu murah jika kau meminta maaf dimana tidak ada kesalahan," ucap Iniki yang langsung beranjak ketempat semulanya.

Kringg! Kringg! Kringg! Telepon pun kembali berbunyi,

"Kau angkat saja!," ucap Iniki sembari duduk dibangkunya. "Iya," jawab Aniria sembari mengangkat gagang telepon.

"Iya, eh? Maksud anda?, iya, baik." Ucap Aniria yang hanya menjawab ocehan di telepon.

"Siapa?, kenapa?," tanya Iniki. "Ayah meninggal dunia, ia di bunuh seseorang pencuri di Jepang, dan kini bunda pun sedang ada di rumah sakit di tempat jenazah ayah." Jawab Aniria yang membuat suasana langsung hening seketika.

Air dan MinyakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang