BAGIAN 4 (BETAH MENYENDIRI)

3.5K 160 4
                                    

Being alone never felt right. Sometimes it felt good, but it never felt right.

Charles Bukowski

"Huh..." desah Maisa berat. Sekitar pukul tiga sore, ia sudah tiba di rumah. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia langsung menuju ke kamarnya.

Tantangan kehidupan yang kini dihadapinya adalah sebuah jalan panjang yang terjal dan berliku. Di situ kerikil-kerikil tajam siap menggores tapak kakinya di setiap langkah. Sedangkan ia rasanya tak sanggup bila harus luka dan berdarah.

Tak kuasa menahan kepedihan hatinya yang semakin membuncah, gadis itu membiarkan tubuhnya terkulai di kasur hingga matanya terpejam karena serangan rasa lelah yang menguasainya. Geliat resah kehidupan telah merengkuhnya ke dalam kantuk dan lelah yang panjang tak tertahankan.

"Engh.... " lenguh Maisa. Rupanya ia ketiduran. Ia melihat jam di dinding sudah menunjukkan pukul 21.00. Sepertinya ia terlalu lama menangis hingga ia tertidur.

Maisa memutuskan untuk bangun dan berjalan menuju kamar mandi, membasuh wajahnya dan memperhatikan pantulan wajahnya di depan cermin kamar mandi. Mata yang membengkak itu kembali meneteskan air mata. Lihatlah, baru beberapa jam ia ditinggal pergi sang kekasih, ia tak sanggup jika tak meneteskan air mata. Bagaimana untuk ke depannya, ia tak sanggup untuk membayangkan.

"Semoga mas baik-baik saja," ucap Maisa dengan penuh keyakinan.

Karena terlalu lama menangis, tenaganya habis. Maisa merasa sangat lapar sampai-sampai perutnya terus-terusan meraum. Ia memutuskan untuk turun ke bawah mencari makan. Dibukanya kulkas yang ada di samping dispenser, berharap ada yang bisa ia makan. Namun hasilnya nihil.

"Mama belum belanja, dek." Suara Mama mengagetkan Maisa yang sedang melihat-lihat isi kulkas.

"Eh, Mama."

"Tuh dek, di depan ada Ajo tukang nasi goreng. Beli sana, gih! Adek pasti laper banget. Mama dapet laporan kalo dari kemarin malem kamu belum makan. Ini, Mamah kasih uang. Kalo perlu beli dua, beliin Mama juga, nasi goreng pedes pake kubis nggak pake telor," ujar Mama sambil memberikan selembar uang lima puluh ribu pada anaknya itu. "Nanti kalo kamu sakit, Mama juga yang repot."

"Oke, Ma."

Maisa segera menghampiri gerobak yang melintas di depan rumahnya sambil meneriakkan nama sang penjual; Ajo.

"Mang, nasi goreng pedes dua, pake kubis semua, yang satu pake telor, yang satu enggak. Sama kwetiaw pedes satu, banyakin sayurnya. Ini sekalian uangnya," ujar Maisa sambil memberikan uangnya pada Mang Ajo.

"Beres Neng, ditunggu ya," kata Ajo. "Oh iya, mas ganteng yang biasanya suka main di sini kok nggak kelihatan, Neng? Biasanya kalau neng keluar beli nasi goreng, pasti mas gantengnya ikut ngintilin di belakang."

Begitu ditanya sebuah pertanyaan yang menohok, Maisa langsung terdiam. Sulit untuk menjawab. Baru saja ia bisa melepaskan sejenak kesedihannya. Ia menarik napasnya dalam-dalam, mempersiapkan sebuah jawaban yang akan ia lontarkan.

"Dia sekolah lagi, Mang. Dia masuk Angkatan Udara, sekarang baru mulai pendidikan di Akmil Magelang. Baru aja tadi pisah," curhat Maisa.

"Weladalah, jadi taruna to masnya?"

"Iya, Mang."

"Saya turut seneng, Neng. Moga-moga masnya bisa jadi tentara dan penerbang yang sukses. Abis itu nanti mamang diajak jalan-jalan naik pesawat. Kan Mamang belum pernah sama sekali naik pesawat, Neng."

"Hehehe, amin Mang. Saya doain biar Mang Ajo bisa jalan-jalan naik pesawat."

Lima belas menit kemudian, dua bungkus nasi goreng dan satu bungkus kwetiaw sudah siap. Maisa memberikan uang lima puluh ribu kepada mang Ajo tanpa meminta kembalian.

"Udah, kembaliannya buat Mamang aja. Makasih ya, Mang," ujar Maisa sambil menampakkan senyum termanisnya. Kemudian ia langsung masuk ke dalam rumah dan meyiapkan dua buah piring, satu untuknya dan Mamanya. Ia sudah tidak sabar untuk segera mengisi perutnya yang sedari kemarin kosong. Nafsu makannya menggila. Hanya dalam waktu 30 menit, satu bungkus nasi goreng dan satu bungkus kwetiaw habis dilahapnya.

***

Seorang gadis nampak sedang duduk sendirian. Terlihat dari caranya memandang, bisa dipastikan gadis itu sedang melamun saat ini. Yap, gadis itu adalah Maisa.

Suasana pesta yang ramai membuat Maisa justru merasa kesepian. Ada yang kurang dalam ulang tahunnya kali ini. Ketidakhadiran sang kekasih yang sedang berjuang di Lembah Tidar adalah penyebabnya. Berbagai pikiran berkecamuk dalam benak Maisa, gadis yang jarang sekali kesepian tanpa sang Arjuna. Biasanya selalu ada Juna yang menemani hari-harinya, termasuk di hari spesialnya. Tapi sekarang lain.

Kenyataan yang dihadapinya begitu menyedihkan. Memang hanya sementara. Tapi cobaan itu terlalu berat bagi Maisa. Bagaimana kabar sang Arjuna di sana? Apakah dia baik-baik saja? Maisa tidak tahu sama sekali. Ia hanya bisa berdoa agar Juna tetap sehat saat bertemu dirinya.

"Hayo, Maisa. Kok diam saja di sini?" tanya Mama Juna mengagetkannya. Mama Juna memang sengaja datang ke pesta ulang tahun kekasih anaknya itu, karena ada sesuatu yang harus diberikan.

"Ah, nggak apa-apa kok, Tante. Maisa lagi pengen sendirian aja," balas Maisa.

"Lagi kangen ya sama anak Tante?" tebak Mama Juna.

"Iya tante, saya kangen sama Juna. Biasanya kan Juna selalu datang ke rumah kalu Maisa ulang tahun, kasih ucapan, kasih hadiah. Sayang sekali, sekarang kan masih basis, jadi nggak bisa datang ke ulang tahun Maisa," curhat Maisa. "Tapi Maisa kan juga nggak mungkin menghalangi Juna untuk meraih mimpinya. Diakan mau jadi perwira yang gagah, seperti yang selama ini dicita-citakan."

"Juna pasti baik-baik saja," kata Mama Juna menenangkan. "Oh iya, kemarin sebelum Juna berangkat basis, dia ninggalin pesan ke tante. Juna minta tolong untuk kasih bungkusan ini ke kamu." Mama Juna mengambil sebuah paper bag kecil yang sedari tadi disembunyikan di balik punggungnya.

"Apa ini, tante?"

"Ini hadiah ulang tahun buat kamu Maisa. Ini dari Juna. Dia sudah mempersiapkan ini, bahkan sebelum dia berangkat basis.

"Terima kasih banyak ya, tante." Maisa pun memeluk erat Mama Juna. Ia begitu bersyukur, ternyata selama Juna sudah mempersiapkan hadiah ulang tahun untuknya. "Saya buka ya, tante."

Maisa membuka paper bag yang diberikan oleh Mama Juna tadi. Diambilnya kotak yang berada di dalam paper bag, dan dibukanya kotak itu. Ternyata isinya adalah jam tangan berwarna emas bermerek terkenal. Harganya pun bisa dibilang cukup mahal. Jam itu adalah barang yang sangat ingin dimiliki oleh Maisa. Entah dari mana Juna bisa mengetahui keinginannya.

Ternyata di dalam kotak itu ada sepucuk surat yang tertinggal. Sebuah kertas berwarna merah muda dengan pita merah di ujungnya. Maisa pun mengambil surat itu dan membacanya pelan-pelan.

Halo, Mai. Selamat ulang tahun ya.

Semoga kamu bahagia selalu. Semoga sehat selalu. Apapun impian kamu bisa segera tercapai. Maaf, Ju nggak bisa menemani ulang tahun adek tahun ini. Ju sedang berusaha mewujudkan mimpi di sini. Ju sengaja menyiapkan hadiah ini dari sebelum berangkat basis. Semoga kamu suka sama hadiah ini. Jangan lupa dipakai ya.

Maafkan Ju yang memang nggak bisa romantis dalam perkataan. Tapi Ju akan selalu berusaha romantis dalam perbuatan. Ju sayang sama Mai. Jaga diri baik-baik ya.

– Arjuna Mahesa Wirabrahmasatya –

Mama Juna yang berada di samping Maisa langsung memeluk kekasih putranya itu. Sebagai seorang ibu, tentu saja ia paham betul dengan perasaan Maisa.

"Tante tahu apa yang kamu rasakan. Tante sama sedihnya sama kamu. Ditinggal anak sendiri tanpa tahu gimana kabarnya. Ya, memang begitu prosesnya. Tante cuma bisa berdoa, berdoa, dan berdoa. Kamu pun juga harus begitu."

Maisa tak mampu merespon. Ia hanya diam, sekuat tenaga menahan perasaan dan air matanya.

==========

Jangan lupa vote + comment ya ✨💕😆

Rindu KomandanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang