BAGIAN 26 (KLARIFIKASI)

913 79 6
                                    

Honesty plus love will get you through most situations.

- Naval Ravikant

Usai kejadian itu, Maisa mendiamkan Juna selama hampir satu minggu. Setiap bertemu dengan Juna, ia selalu mencari cara untuk menghindar. Entah dengan alasan dipanggil senior taruninya, entah dengan alasan banyak tugas ataupun kegiatan. Seribu satu alasanpun ia keluarkan agar segera pergi dari hadapan Juna.

Bahkan di pesiar minggu ini, Maisa tak ingin ke mana-mana. Rasanya malas sekali kakinya melangkah. Ia hanya ingin bertahan di dalam kompleks Akademi Angkatan Udara dan menghabiskan waktu di dalam kamar.

Usai pelaksanaan apel pesiar, gadis itu langsung bergegas menuju kafetaria AAU. Ia sudah ada janji dengan senior taruninya yang juga tidak pesiar hari itu.

Saat sedang asyik bercengkrama dengan para Mayor taruni, tiba-tiba seorang taruna menghampiri.

"Izin menghadap Mayor," ucapnya tegas.

"Ada apa, dek?" tanya Mayor Puspa.

"Siap Mayor, izin untuk berbicara dengan Sersan Maisa."

"Penting, ya?

"Siap, penting Mayor."

"Hmm, ya sudah, sana. Jangan lama-lama."

Untung saja Mayor taruni sedang baik hati dan tidak usil. Alhasil dengan mudahnya Juna berhasil menculik Maisa ke meja yang kosong. Dan tanpa babibu, ia langsung menyampaikan maksudnya.

"Aku nggak tau kenapa kamu seminggu ini. Kamu ada masalah apa, akupun nggak tau karena kamu nggak ada omongan sama sekali. Aku capek Mai didiemin. Capek," ungkap Juna. "Kamu tahu kan sikap cowok kalo udah marah? Kalau kamu nggak mau sampai aku marah, masih besok kita pesiar bareng. Habis apel, langsung kita keluar."

Juna langsung meninggalkan Maisa yang masih terpatung di kursinya dan berpamitan dengan Mayor Puspa.

Maisa menunduk. Rasa penyesalan menyusup ke dalam hatinya. Gadis itu menghembuskan napas beratnya, ia benci melihat Juna marah seperti ini. Ia menyalahkan dan merutuki dirinya sendiri karena tidak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.

***

Tak ingin Juna marah dan terjadi pertengkaran yang lebih parah lagi, pagi itu Maisa akhirnya menuruti permintaan Juna. Tepat setelah apel pesiar pagi, mereka langsung bergegas menuju ke rumah Budhe yang berada di dekat Stasiun Lempuyangan.

Selama perjalanan, hampir tak ada pembicaraan di antara mereka berdua.

Sampai di sana, Maisa langsung meletakkan pet dan tasnya di kursi rotan yang berada di depan rumah. Segera ia menuju ke dapur untuk menyiapkan secangkir kopi dan teh hangat, sementara Juna menunggu di depan sembari bermain dengan lovebird yang menggantung di teras rumah.

"Walah, ndhuk. Kok malah bikin minum sendiri. Sini biar Budhe yang buatkan."

"Nggak apa-apa, Budhe. Ini juga sudah selesai."

Gadis itu kemudian meletakkan dua gelas teh hangat di atas nampan, kemudian membawanya menuju ke teras. Dan segera ia menyajikan minuman tersebut di atas meja.

"Minggu lalu, ke mana? Kok aku telepon handphone-nya nggak aktif? Seminggu ini kamu juga diemin aku terus. Malahan kamu ngehindarin aku terus. Iya, kan? Emangnya aku ada salah apa?" tanya Juna membuka percakapan setelah sedari tadi di perjalanan Maisa hanya diam. Padahal, gadis itulah yang mengajaknya ke sini. Namun ternyata Maisa tak segera memulai pembicaraannya.

"Hmm, jadi begini..." ucap Maisa kemudian sedikit menghela napas kemudian membenarkan posisi duduknya. "Maaf. Maaf kalau seminggu ini aku diam dan menghindar. Hmm... Jadi, Minggu lalu, aku keluar pesiar sama Mayor Kanawa."

"Lah, kok bisa sama dia?" potong Juna.

"Sebentar, tunggu dulu. Biarin aku ngomong dan cerita sampai selesai, baru kamu boleh ngasih pertanyaan atau ngasih tanggapan. Paham?" marah Maisa.

Juna mengangguk pasrah.

"Jadi waktu passing in parade kemarin waktu habis selesai acara, sebelum kamu nemuin aku, ada Mayor Kanawa yang lebih dulu nemuin. Aku juga nggak nyangka kalau dia akan datang lebih dulu daripada kamu. Dan dari situ tanpa babibu, tanpa permisi, dia langsung ngajak aku pesiar."

"Lah, kena..."

"Sst, jangan tanya dulu!" Maisa kembali marah ketika ceritanya harus terpotong lagi.

"Iya, iya maaf. Nggak akan diulangi lagi. Udah, jangan ngegas gitu. Nanti cantiknya ilang," gombal Juna sambil mengelus pipi kekasihnya.

"Hih, apaan sih nggak jelas. Kamu pasti tanya kenapa aku nggak bisa nolak, kan? Ya, kan? Karena Mayor Kanawa bilang kalau setiap keputusan ada konsekuensinya."

"Hmm?"

"Ya terus kan aku mikir, kata-kata terakhirnya bikin tertekan. Seolah-olah jawaban akhirnya aku harus nerima, harus siap perintah. Kalau aku nolak, yang kena imbasnya bukan cuma aku. Sasuhku juga pasti kena, bahkan Mayor Dua pun juga pasti kena. Nah, sebagai junior yang baik, akhirnya dengan terpaksa kuterima."

Juna menghela napas dalam-dalam. Mendengar cerita Maisa barusan membuatnya sedih. Ia tahu persis seperti apa tekanan yang dialami Maisa, karena ia sendiri pernah merasakan jadi yang paling junior.

"Terus, apa yang aku lakukan salah?" tanya Maisa.

"Kamu nggak salah, Mai. Apa yang kamu lakukan adalah pilihan yang tepat, apalagi sebagai seorang yang paling junior. Justru aku bangga dengan sikapmu, yang masih memikirkan orang lain meskipun kamu yang harus menderita," ujar Juna berusaha meyakinkan kekasihnya. "Mayor Kanawa belum tahu kalau kamu pacar aku?"

Maisa menggeleng pasrah.

"Ya sudah. Besok biar aku yang ngadep langsung sama Mayor Kanawa. Biar aku bicara baik-baik nanti sama dia. Biar aku jelaskan semua sejelas-jelasnya kalau Maisadipta Deepika Cadudasa adalah milik Arjuna Mahesa Wirabrahmasatya seorang. Sekalian kukasih efek bold, italic, sama underline. Kalau perlu diwarna merah juga."

"Jangan buru-buru mau lakuin sesuatu. Aku takut nanti kamu diapa-apain," kata Maisa ketakutan. Ia menggenggam erat tangan Juna seolah-olah berkata 'jangan'.

"Kalau aku nggak ngomong, nggak terus terang, justru Mayor Kanawa akan begitu terus. Tiap hari kamu akan digangguin terus. Biar aku selesaikan. Aku siap nanggung konsekuensinya. Kalau semua sudah clear, nggak akan ada beban lagi buat kamu, sayang," ucap Juna sembari menggenggam erat jemari tangan Maisa.

Kemudian suasana pun menjadi hening. Baik Juna maupun Maisa tidak ada yang berbicara.

"Bukankah seorang pria sejati harus melindungi wanita yang ia cintai, meskipun tau apa resiko yang akan dihadapi. Betul, kan?" kata Juna dengan suara yang lembut, membuat Maisa merasa tenang. Gadis itupun menyunggingkan senyum tipis.

Mereka pun terdiam lagi, kemudian saling tersenyum satu sama lain.

"Lagian, persoalan kaya gini memang harus diselesaikan secara jantan. Sama-sama laki-laki kok, masa begini aja jadi masalah besar. Toh, kita juga bukan anak SMA lagi. Kalau nggak bisa diomongin, ya terpaksa harus duel. Untuk apa Tuhan menciptakan dua tangan kalau bukan buat baku hantam," kata Juna bercanda.

"Ih, kamu ya..."

"Sumpah, Mai. Aku nggak kuat kalau kamu diemin kaya kemarin. Lebih baik denger kamu ngomel-ngomel seharian non stop daripada didiemin."

***

Karena kesibukan dan banyaknya pekerjaan di kantor, mohon maaf baru bisa update cerita ini lagi. Terima kasih yang sudah sabar menunggu cerita Maisa dan Juna.

Jangan lupa vote + comment ya biar lebih semangat update ✨💕😆

Rindu KomandanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang