Success is not how high you have climbed, but how you make a positive difference to the world.
– Roy T. Bennett –
"Ayo lari! Cepat! Lelet kalian!"
"Lama kalian!"
Teriakan keras itu sontak memekakkan telinga Maisa yang sedang berjalan pelan sembari menenteng dorsack dan tas besarnya. Refleks gadis itu langsung berlari secepat mungkin tanpa memperdulikan beban berat yang dibawanya.
"Jongkok kalian! Jongkok!"
***
Pagi ini Maisa dan kawan-kawannya sudah berkumpul di lapangan Akademi Militer untuk melaksanakan upacara pembukaan pendidikan dasar kemitraan Akademi TNI dan Akademi Kepolisian. Cuaca begitu cerah. Saking cerahnya, tak ada satupun awan yang muncul di langit Lembah Tidar.
Gadis itu sudah berbaris rapi di tengah lapangan, berpakaian PDL hijau lengkap dengan topi baja di kepalanya. Sementara di sisi lain, para pelatih sudah berkumpul dan membentuk barisan di depan calon taruna. Dengan kaos polo merah, bawahan PDL lengkap, serta topi koboi hitam, para pelatih ini sudah sangat siap menempa para calon taruna.
"... pendidikan dasar kemitraan Akademi TNI dan Akademi Kepolisian dengan ini saya nyatakan dibuka."
Dor... Dor... Dor...
Tepat setelah upacara selesai, suara tembakan langsung menggelegar di lapangan Akmil. Sontak para calon taruna yang sedang berdiri langsung mengambil sikap tiarap. Para pelatih yang berada di sisi seberang ternyata sudah mulai merapat. Setiap lima orang pelatih mengepung satu pleton.
"Merayap merayap!"
"Guling guling!"
Tak ada istirahat sama sekali buat Maisa. Di tengah teriknya matahari, ia harus menikmati tajamnya rumput-rumput lapangan Akmil. Belum lagi teriakan-teriakan dari para ibu yang mengepung pleton calon taruni, semakin memanaskan suasana saja. Baru sepuluh detik disuruh merayap, dengan seenak hati mereka mengganti perintahnya.
"Guling lagi!"
"Merayap!"
Setelah selesai 'dipermainkan' di lapangan, Maisa dan kawan-kawannya langsung membentuk satu barisan memanjang seperti orang yang sedang antre sembako. Semuanya bersiap menerima sebuah tambang besar untuk dikalungkan di tubuh, serta sebuah peples untuk tempat air minum yang akan selalu dibawa dalam kegiatan sehari-hari.
Peralihan dari sipil ke militer memang jadi hal terberat yang harus dilalui Maisa. Pada masa ini, semua kegiatan dilakuin dengan tap-tap-tap. Tak ada istilah jalan. Semuanya dilakukan dengan berlari. Setiap lebih dari 3 langkah, Maisa harus berlari dengan barisan yang rapi. Kebiasaan buruknya juga sedikit demi sedikit dibenahi, dari seseorang yang lelet dan suka menunda-nunda pekerjaan menjadi lebih gesit dan tepat waktu.
Meskipun begitu, Maisa senang bisa bertemu dengan keluarga baru yang berasal dari seluruh penjuru Indonesia. Dengan suku yang berbeda-beda, bahasa yang berbeda-beda, serta kepala-kepala yang berbeda, mereka digabungkan untuk menjadi satu kesatuan sebagai satu angkatan yang memiliki jiwa korsa serta rasa memiliki satu sama lain. Semua menjadi sama rata, tidak pandang kaya-miskin, tua-muda, hitam-putih, Jawa-Sumatera, Kalimantan-Sulawesi, Aceh-Papua, Islam-Kristen-Hindu, semuanya sama.
"Ayo kumpul semuanya!"
Waktu sudah menunjukkan pukul 12 siang. Artinya sudah masuk jam makan siang. Semua segera berbaris untuk melaksanakan apel makan siang. Setelah itu semua duduk berjejer dengan rapi sesuai dengan pleton masing-masing. Dan untuk yang perempuan memisahkan diri dan membentuk satu kelompok.
Sekotak makan siang dengan porsi besar sudah siap dibagikan. Para pelatih juga sudah siaga untuk 'menemani' makan para calon taruna ini.
"Duduk siap, grak!"
"Mengawali makan siang, berdoa mulai."
Seusai berdoa, salah satu pelatih memberi aba-aba untuk membuka kotak makan itu. Jeng jeng! Ada nasi, ayam goreng, tumis sawi-wortel, sambal, serta satu buah pisang. Tenyata Maisa sedikit shock melihat porsi nasi yang sebegitu banyaknya, sedangkan lauknya tak sebanyak nasinya.
"Ya, sekarang ambil ayamnya," perintah sang pelatih. "Makan ayamnya. Lima hitungan harus sudah habis. Satu!"
Buru-buru Maisa menghabiskan paha ayam goreng yang ada di genggamannya. Entah mengapa rasa ayam goreng yang harusnya nikmat, tiba-tiba berubah menjadi hambar. Nafsu makan Maisa yang biasanya menggebu-gebu juga hilang begitu saja.
"Ada yang belum habis?" tanya pelatih dengan nada sinis. Para calon taruna itu saling melihat satu sama lain, mencari siapa kawan yang belum menghabiskan ayam gorengnya. "Ya, sudah habis semua? Sekarang makan sayur dan sambalnya. Lima hitungan habis. Satu! Dua! Tiga!"
Semua lauk yang yang tersedia sudah habis tak bersisa. Kini hanya tinggal menyisakan nasi dan pisang.
"Sekarang, ambil pisangnya, taruh di sebelah kanan kalian. Saya kasih sepuluh hitungan untuk habisin nasinya. Satu!"
"..."
"Sepuluh! Ya, masih ada yang belum habis? Lima hitungan terakhir, kotaknya langsung dibalik!"
Bukannya memberi semangat, para pelatih ini justru memprovokasi para calon taruna agar memuntahkan makanannya. Benar-benar ujian mental yang berat.
Hoek! Hoek!
"Ya, muntahin aja. Muntahin! Biar dimakan itu sama temen-temen kalian!"
"Biar ngerasain rasanya muntahan
Maisa sekuat mungkin menahan diri untuk tidak memuntahkan semua yang ada di mulutnya. Bahkan gadis itu sengaja mencubiti tubuhnya sendiri untuk mengalihkan rasa mualnya.
"Ini ada yang mau nangis, Pak!" ucap salah satu pelatih wanita sambil mendekati salah satu calon taruni yang matanya sudah mulai berkaca-kaca.
"Jangan manja kamu! Cewek di sini nggak ada yang manja. Pulang sana kalau nggak kuat!" bentak pelatih wanita lainnya.
Untung saja Maisa sudah menghabiskan nasinya. Berkat jurus jitu yang didapat dari Juna, ia berhasil mengatasi rasa mualnya serta memenangkan perang mental melawan dirinya sendiri.
"Wah, Pak! Pisangnya belum dimakan ini, Pak."
Lagi-lagi suara kompor itu keluar lagi. Dalam hati Maisa menggerutu. Ingin rasanya ia menyumpal mulut orang itu dengan sepatunya. Tapi apa daya, kini ia sedang berada di bawah kendali orang itu.
"Masih kuat?"
"..."
Dengan segala dayanya, Maisa melahap kudapan dengan terakhirnya. Dengan sekuat tenaga, ia menahan agar semua yang ia makan tidak keluarkan lagi.
Tahan, Mai. Tahan.
"Ya, angkat kulit pisangnya," perintah pelatih. "Masukkan ke dalam kotak makan kalian."
Akhirnya usai sudah 'perang' lawan makanan jilid dua hari itu. Jika setiap hari terus seperti ini, bisa-bisa Maisa menjadi trauma dengan yang namanya makan. Namun di sisi lain Maisa juga menyadari kalau ia punya aktivitas yang super padat dan melelahkan. Sehingga mau tidak mau, ia juga harus punya banyak energi meskipun harus seperti inicaranya.
***
Di sisi lain, Juna juga sedang menjalani orientasi keduanya. Setelah menjalani pendidikan integratif selama satu tahun dan mendapat kenaikkan pangkat menjadi seorang Sersan Karbol, ia harus kembali menjalani masa pengenalan lingkungan barunya, Akademi Angkatan Udara. Orientasi ini juga tak kalah beratnya dengan masa basis saat di Akademi Militer.
Sebelumnya, baik Juna maupun Maisa sudah berkomitmen untuk fokus pada kegiatan masing-masing yang sama-sama padatnya. Karena tiga bulan pertama Maisa tidak memegang alat komunikasi dan belum mendapat jatah pesiar, maka Junalah yang harus mengalah untuk menunggu. Dan tentu saja, tetap menjaga hatinya untuk Maisa. Setidaknya tiga sampai empat bulan lagi.
==========
Jangan lupa vote + comment ya ✨💕😆
![](https://img.wattpad.com/cover/124466417-288-k840185.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Rindu Komandan
Novela Juvenil[UNPREDICTABLE UPDATE] "Seseorang yang benar-benar mencintaimu tidak akan pernah melepaskanmu. Bahkan jika ada ratusan kata untuk menyerah, dia punya satu alasan untuk bertahan." - Maisadipta Deepika Cadudasa "Terkadang dua orang harus berpisah unt...